JAKARTA – Direktur Eksekutif KPPPOD (Komite Pelaksanaan Pemantauan Otonomi Daerah), Robertna Endi Jaweng berpendapat Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3/2018 tentang Izin Penelitian masih belum mendukung semangat besar penelitian Indonesia untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang bersifat empiris. Hal itu ia ungkapkan saat mengisi acara Seminar Nasional Penelitian di Indonesia Mengoptimalkan Peran Riset dalam Kebijakan Pembangunan yang diselenggarakan oleh CSIS (Centre for Strategic and International Studies) bersama KSI (Knowledge Sector Intiative), Rabu, (28/2) di Auditorium CSIS, Tanah Abang, Jakarta.
Dalam kesempatan itu, Endi memaparkan hasil penelitian terhadap 2 Provinsi, yakni Prov DIY: Kab. Bantul dan Kota Yogya, serta Prov. Jawa Timur, yakni Kota Surabaya dan Kab. Malang. Dalam penelitian KPPOD menyebutkan, Permendagri yang dibuat oleh pemerintah cenderung bersifat rezim teknis dan politik, mencari peluang melalui karcis peneliti tapi sama sekali dalam penyusunan peneliti tidak dilibatkan. “Mau mengatur peneliti, tapi satupun peneliti tidak diajak, setelah ribut-ribut baru diundang,” terangnya.
Sebenarnya permasalahan perizinan penelitian menurutnya telah lama muncul, namun regulasi yang ada juga tidak terlalu signifikan berbeda dari regulasi sebelumnya. “Peraturannya tetap menggunakan izin berjenjang, ini yang ribet. Apalagi satu daerah dengan di daerah lainnya berbeda. Ada yang memerlukan 3 dokumen, ada yang 7 dokumen, ada yang melalui Kesbangpol Kab/Kota, ada yang melalui Bappeda. Tanpa ditetapkan secara nasional ini kan akan membingungkan, otomatis akan memperlambat proses tersebut dengan alasan kewenangan pemerintah daerah,” tegas Endi
Penelitian KPPOD, mengatakan implementasi Permendagri No.7/2014 saat ini mengharuskan peneliti untuk mendapatkan izin dan rekomendasi dari pemerintah pusat sampai ke kelurahan daerah yang ingin diteliti. “Peneliti yang ingin melakukan penelitian di daerah harus mengurus izin ke Kemendagri, lalu ke Bakesbangpol Provinsi, lalu ke Bakesbankpol Kab/Kota yang ingin di teliti,” jelasnya.
Bahkan katanya, proses perizinan makin sulit jika daerah yang ingin diteliti keberadaannya jauh, dan akan membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit dalam pengurusannya. “Jika peneliti telah mendapatkan izin untuk meneliti pun, tidak ada jaminan untuk mereka mendapatkan kemudahan akses data ataupun jaminan keamanan ketika dan pasca melakukan penelitian. Sedangkan Permendagri No.3/2018 yang ngambang ini sementara tersebut tidak memiliki urgensi dan kebermanfaatan untuk diterapkan.
KPPOD menyarankan agar pemerintah mencabut total permendagri tentang rekomendasi/izin penelitian. “Sehingga ke depannya proses penilitan dapat lebih cepat dan hasilnya dapat mendukung pembuatan kebijakan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat,” tegas Endi di akhir paparan. (IFR)