News

Dwi Rahayu, Satu-satunya Peneliti Kelomang di Indonesia

Sebagai negara maritim yang dua per tiga areanya terdiri dari lautan, Indonesia hanya memiliki sedikit ahli taksonomi. Dwi Listi Rahayu menjadi satu-satunya taksonom asal Indonesia yang fokus meneliti kelomang (hermit crab).

Sebelum fokus meneliti kelomang biasa disebut umang-umang, pong-pongan, atau kepompong pada tahun 1987, Dwi telah memiliki ‘ikatan batin’ dengan biota laut sejak duduk sebagai mahasiswa S1 di Fakultas Perikanan IPB.

Perannya sebagai peneliti di Pusat Oseanografi – LIPI membawa Dwi sebagai salah satu peneliti dalam Ekspedisi Snellius II. Ekspedisi tersebut merupakan kerjasama antara Indonesia dan Belanda yang dilakukan pada 1984.Kesempatan bertemu dengan taksonomis berbagai biota laut semakin menanamkan kecintaan Dwi terhadap dunianya.

Fokus sebagai peneliti kelomang berawal ketika ia melanjutkan studi ke Perancis yang membawanya bertemu Prof. Jacques Forest, kepala laboratorium krustasea di Museum national d’Historie naturelle (Natural History Museum) di Paris.

Atas saran Forest, Dwi yang awalnya sempat keberatan akhirnya setuju untuk fokus meneliti taksonomi kelomang. Warna warni kelomang yang menarik, ditambah minimnya literatur baru tentang kelomang di perairan Indonesia menjadi dorongan tambahan.

“Awalnya saya keberatan karena tidak mengenal apa itu kelomang? Tetapi setelah melihat berbagai jenis kelomang yang warna-warna menarik dan tidak ada literatur baru di perairan Indonesia, maka saya mulai mempelajari taksonomi kelomang,” jelasnya

Sejak saat itu, Dwi mengaku keasyikan mengamati biota laut yang sangat beragam. Bahkan, profesi sebagai peneliti menurutnya bukan lagi sebatas pekerjaan tapi sudah menjadi napas kehidupan.

Dwi mengaku semakin antusias ketika mengetahui dirinya berhasil menemukan species baru yang belum memiliki nama. Saat di kondisi tersebut, ia mengaku kerap ingin segera mempublikasi temuannya, sementara tahapan yang harus dicapai masih sangat panjang.

“Mempersiapkan publikasi tentang species baru tidak sederhana, karena harus memeriksa publikasi tentang species lain yang memiliki karakter hampir serup,” imbuhnya.

Proses panjang yang disebutnya termasuk mengumpulkan dan mempelajari literatur tentang species lain. Tak jarang, usia literatur yang harus dipelajari oleh peneliti berasal dari tahun 1700-an.

Namun begitu, alumni SMAN II Surabaya ini mengaku menikmati proses panjang tersebut. Tak heran jika kemudian pengalaman yang dimiliki Dwi mengantarkannya bekerjasama dengan peneliti lain dari berbagai belahan dunia.

Dwi juga mengutarakan dirinya kerap terlibat dalam ekspedisi internasional, baik untuk melakukan penelitian atau sebagai ‘visiting scientist’ ke Natural History Museum di negara lain.

Ekspedisi Laut Jawa Selatan antara Indonesia-Singapura

Salah satu proyek penelitian terbaru yang melibatkan peran Dwi yakni Ekspedisi Keanekaragaman Hayati Laut Dalam Jawa Selatan 2018 (SJADES 2018) antara Indonesia dan Singapura pada akhir Maret lalu.

Menurutnya, ekspedisi bersama antara Singapura dan Indonesia telah terjalin sejak tahun 1960-an. Hanya saja, keputusan untuk memilih lokasi Laut Jawa Selatan diputuskan pada tahun 2002 lalu antara pihak National University of Singapore dan LIPI.

“Sejak 2002 sebenarnya selalu membahasa kenapa tidak bikin ekspedisi lagi antara Singapura dan Indonesia. Akhirnya diputuskan rencana ekspedisi di Samudera Hindia, khususnya laut Jawa Selatan yang dimulai pada Maret 2018,” jelasnya.

Alasan pemilihan lokasi Laut Jawa tak lain karena bersentuhan langsung dengan Samudera Hindia. Sementara dilihat dari sisi lain, lokasi tersebut dilewati arus lintas Indonesia yang bersentuhan dengan Selat Sunda yang menjadi jalur sibuk.

Berbeda dengan jalur ekspedisi pada umumnya yang memulai dari Pantai barat dan berhenti di Lampung, sementara jalur Selatan Jawa kerap terlewatkan. Tim gabungan peneliti kali ini justru memulainya dari Laut Jawa Selatan ke arah timur melewati Cilacap, Banyuwangi, Sumba, dan berakhir di Bali.

Dwi mengungkapkan alasan peneliti yang kerap ‘menyerah’ di jalur Laut Jawa Selatan lantaran kondisi alam yang sulit ditebak.

“Laut Jawa Selatan itu ombaknya ganas, hanya ada waktu yang agak tenang di bulan Maret sampai April. Pada permulaan 1930an sampai 1950an sebenarnya ada ekspedisi ke Jawa dan sudah mengerahkan alat berat hingga ke laut dalam, namun tidak dapat hasil sehingga tidak ada data sama sekali soal biota laut dalam di sana,” jelas perempuan ang pertama ikut ekspedisi laut dalam di tahun 1991.

Berbekal peta dasar laut kuno, tim yang terdiri dari 13 orang peneliti asal Indonesia dan 17 asal Singapura mulai menurunkan beam trawl di kedalaman 800 hingga 2.100 meter. Kendala dasar laut yang bergunung-gunung, membuat tim tidak bisa sembarangan menurunkan alat.

Bisa saja mendapatkan hasil specimen baru, tapi Dwi mengatakan konsekuensinya bisa membuat alat rusak. Ekspedisi yang menghabiskan waktu selama dua pekan itu disebutnya telah membawa hasil baik sejak di hari pertama. Meski tak dipungkiri jika kendala yang dihadapi tim dan ABK sangat menantang dalam menaklukkan ganasnya Laut Jawa Selatan.

“Di hari pertama, hampir semua tim merasakan mabuk laut karena saat itu ada badai markus yang bergerak dari Australia ke atas ditambah hujan deras. Ada satu hari yang sangat buruk sehingga kami sambil mabuk laut tetap harus menyortir material, setelahnya bergantian lari ke pinggir kapal untuk muntah,” ucapnya terkekeh.

Dari ekspedisi tersebut, Dwi mengaku menemukan sendiri kelomang dengan jenis yang sangat beragam. Ia menjelaskan telah menemukan kelomang yang bukan hanya tinggal di cangkang moluska, tapi di batang kayu dan bambu yang tenggelam di dasar laut.

“Untuk mensortir perlu mata yang bagus, itulah perlunya peneliti ikut dalam ekspedisi. Setelah trol naik, peneliti akan mensortir dan membersihkan, semua kemudian difoto dan diawetkan menggunakan alkohol untuk kebutuhan penelitian lebih lanjut,” ungkapnya.

Dari hasil ekspedisi tersebut, tim peneliti yang juga melibatkan Prof Peter Ng, kepala penelitian UNS berhasil menemukan sejumlah spesies baru seperti kepiting duri, kepiting mata merah, lobster dengan cangkang bermotif zebra, kepiting pertapa bermata hijau, cumi-cumi raksasa sepanjang 50cm dan teripang laut ungu seberat 1kg. Sementara makhluk laut terkecil berjenis cacing dan sejenis crustacean yang disebut copepods berukuran 1mm hingga 2mm

Melibatkan banyak spesialisiasi

Dwi mengaku perjuangan tersebut terbayarkan lantaran spesimen yang berhasil dikoleksi bagus dan beberapa tergolong baru. Dari 12 jenis specimen baru yang ditemukan, ia bersama tim dari Singapura akan meneliti lebih lanjut dan mempublikasikan hasil penelitiannya dalam waktu dua tahun kedepan.

“Saat mengetahui saya menemukan species baru yang belum punya nama untuk pertama kalinya, itu membuat saya sangat bersemangat dan ingin segera mempublikasikannya.Namun ternyata mempersiapkan publikasi tentang species baru itu tidak sederhana,” katanya.

Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mempublikasikan hasil ekspedisi lantaran ada banyak spesialisasi yang terlibat untuk memastikan sejumlah ahli yang jumlahnya tak banyak di dunia.

“Pekerjaan taksonomi bodiversity ini butuh waktu lama dan ahlinya juga tidak banyak. Untuk satu specimen, perlu ahli di bidangnya sendiri. Saya sebagai ahli taksonomi kelomang akan meneliti lebih lanjut soal itu, sementara ahli udang harus mnta bantuka ke ahli di Taiwan dan bintang laut yang mengular juga ada spesialis asal Jepang,” ucapnya mencontohkan.

Ia mengatakan nantinya sampel hasil ekspedisi akan dikirim ke spesialis untuk diteliti lebih lanjut. Atas dasar itulah hasil ekspedisi tidak bisa dipublikasikan dalam waktu singkat. Dwi menargetkan hasil ekspedisi baru bisa dipublikasi paling cepat pada tahun 2020.

Sebagai satu-satunya taksonom kelomang asal Indonesia, Dwi tak memungkiri jika ada banyak kendala yang ditemui selama menjadi peneliti. Meski di satu sisi bangga karena berkesempatan menemukan keragaman biota laut di Indonesia, namun ia tak bisa ada sejumlah kendala.

Dukungan sarana dan prasarana penelitian, termasuk anggaran untuk penelitian biodiversitas biota laut di Indonesia menurutnya masih sangat minim. Tak heran jika dalam sejumlah penelitian, tim peneliti asal Indonesia harus menggandeng negara lain yang bersedia berperan sebagai pendonor dana.

“Khusus untuk ekspedisi SJADES 2018 itu pendorongnya dari Singapura. Indonesia hanya menyediakan SDM dan kapal penelitian milik LIPI serta ABK yang sudah terbiasa dengan kondisi seperti tersebut, maka tak heran jika pesertanya kebanyakan dari Singapura,” jelasnya. (IFR/CNNIndonesia)

Join The Discussion