JAKARTA – Penelitian dan kegiatan akademik bidang kesehatan terhadap tanaman cannabis sativa atau ganja dianggap tetap perlu dilakukan. Pasalnya, kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay, inovasi dan temuan baru dalam dunia pengobatan hanya bisa dilakukan dengan penelitian.
Karena itu, menurut dia, wajar saja jika ada kelompok masyarakat yang meminta izin untuk melakukan kajian dan penelitian seperti itu. “Masalahnya, mungkin karena bahan bakunya ganja. Jadi, banyak yang merasa tidak enak. Karenanya, kegiatan penelitian itu tidak dijalankan,” ujarnya.
Saleh menuturkan, ganja untuk konsumsi publik memang bisa dikategorikan sebagai zat dan bahan berbahaya. Tetapi, jika memang melalui penelitian dapat digunakan untuk pengobatan dan dalam batas-batas tertentu, bisa saja dipakai.
Apalagi, sudah ada yang pernah membuktikan khasiat dan manfaatnya bagi kesehatan. Tinggal bagaimana mengkaji dan menelitinya secara akademik.
“Kalau diedarkan secara luas dan bisa dipakai secara umum, saya kira akan sangat berbahaya. Tetapi untuk keperluan medis, jika dipakai proporsional dan sesuai kebutuhan pasien, saya kira perlu diujicobakan,” pungkasnya.
Kemarin, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat dan Lingkar Ganja Indonesia mendesak agar tanaman ganja diteliti untuk keperluan medis. Desakan itu muncul setelah terungkapnya kasus Fidelis Ari Sudarwoto, aparatur sipil negara yang ditersangkakan karena menanam ganja dirumahnya untuk pengobatan sang istri yang menderita penyakit kista di sumsum tulang belakang.
Namun kata mereka, tanaman ganja itu bisa menjadi alternatif terakhir ketika si pasien tidak menemukan obat yang bisa menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
Penelitian terhadap tanaman ganja pun sempat diajukan Yayasan Sativa Nusantara (YSN) kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan pada 9 Oktober 2014. Permohonan itu sempat dikabulkan 30 Januari 2015, namun hingga kini penelitian belum juga dilaksanakan.
Direktur YSN Inang Winarso mengatakan, tak kunjung dilakukannya penelitian lantaran Balitbangkes belum juga mengirimkan nama timnya. “Tim peneliti dari Kemenkes belum dibentuk. Kalau tim peneliti kami sudah ada. Ketua pelaksananya saya,” ujarnya di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat di Tebet, Jakarta, Minggu (2/3).
Adapun dasar penelitian tersebut karena ada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 132 tahun 2012, tentang Izin Memperoleh, Menanam, Menyimpan dan Menggunakan Tanaman Papaver (Opium), Ganja dan Koka yang diberikan kepada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat tradisional milik Kementerian Kesehatan di Jalan Raya Lawu no 11 Tawangmangu Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. (IFR/Jawapos.com)