JAKARTA – Masyarakat sudah tidak perlu khawatir dengan efek samping yang bisa ditimbulkan oleh obat HIV. Awalnya, obat HIV dikabarkan bisa menyebabkan seseorang yang mengkonsumsinya secara rutin mengalami depresi dan keinginan bunuh diri.
Dampak negatif yang dikatan dari obat HIV ini membuat banyak penelitian baru yang memunculkan dan salah satunya mengatakan depresi tidak ada kaitannya dengan obat HIV yang diberi nama Efavirenz tersebut.
Sebuah penelitian baru tentang obat HIV Efavirenz yang dilakukan para peneliti di Uganda menemukan fakta berbeda dari yang ada sebelumnya. Mereka mengatakan bahwa efavirenz, yang pernah ditakutkan dapat menyebabkan depresi dan bunuh diri, ternyata tidak menyebabkan efek samping negatif yang dikatakan.
Seperti diketahui, Efavirenz adalah pil terjangkau yang biasa dikonsumsi sekali sehari untuk mengobati dan mencegah HIV/AIDS. Tetapi beberapa peneliti khawatir bahwa penggunaan efavirenz mungkin akan mendatangkan bahaya seperti efek negatif.
Sebelumnya, beberapa penelitian di Amerika Serikat dan Eropa menemukan bahwa obat ini meningkatkan risiko depresi atau bunuh diri pasien, meskipun penelitian lain tidak. Hasil campuran penelitian ini mendorong banyak dokter di Amerika Serikat untuk meresepkan obat yang lebih mahal tetapi berpotensi lebih aman.
Karena ingin melihat lagi risiko depresi, maka dilakukan penelitian kepada populasi Afrika dari tahun 2005 hingga 2015. Selama 10 tahun ini, Sidder dan tim dokter Uganda dan AS melacak 694 pasien yang memakai efavirenz atau obat antiretroviral lain. Mereka secara teratur bertanya kepada pasien apakah mereka mengalami depresi atau pikiran untuk bunuh diri dan ternyata tidak ada perbedaan.
Analisis mereka, yang diterbitkan dalam Annals of Internal Medicine, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara kedua perawatan tersebut.
“Dengan kata lain, efavirenz tidak terkait dengan risiko depresi. Jika ada, tampaknya ada penyebab lain yang berpotensi dikaitkan dengan penurunan risiko. Tapi itu tidak cukup kuat untuk kita untuk mengatakan (obat HIV penyebab depresi) itu,” ungkap Health Research Institute dari Africa Mark Siedner
Para penulis juga melaporkan bahwa dari 17 peserta yang meninggal pada saat penelitian berjalan bukan karena bunuh diri. Siedner memiliki dua kemungkinan penjelasan mengapa temuan mereka berbeda dari yang ada di negara-negara Barat lainnya.
“Salah satu penyebab potensial adalah bahwa setiap kelompok etnis di dunia, tentu saja, berbeda. Berbeda secara sosial, lingkungan, dan dalam hal ini mereka mungkin berbeda secara genetik,” katanya.
Dia menambahkan, hingga saat ini timnya juga sedang melihat apakah gen yang mengontrol metabolisme obat memiliki peran dalam cerita ini. Dugaan timbul karena efavirenz merupakan obat sangat kuat, itu bisa membuat orang lebih sehat dari yang mereka duga, jadi pasien cenderung untuk melaporkan emosi negatif atau kemarahan.(IFR/Okezone.com)