News

Dana Riset Jadi 0,2 Persen PDB, tetapi Hanya Dipengaruhi Perubahan Rumus Penghitungan

JAKARTA – Di tengah pemotongan anggaran riset, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, menyatakan bahwa anggaran Indonesia naik menjadi 0,2 persen.

Angka itu diukur dari belanja riset Indonesia terhitung dari Juli 2015 hingga Juni 2016. Nasir mengatakan, dalam rupiah, Indonesia selama setahun membelanjakan Rp 17 triliun untuk riset.

Perubahan dana riset itu tampak menggembirakan sebab berdasarkan perhitungan sebelumnya yang dirilis pada tahun 2014, dana riset Indonesia hanya 0,09 persen.

“Sekarang kita tidak berpikir anggaran riset kita 0,09 persen, tetapi 0,2 persen. Cukup tinggi kenaikannya,” kata Nasir dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis (15/9/2016).

Namun, bila dicermati, perubahan tersebut tak berarti Indonesia menaikkan anggaran untuk penelitian, tetapi hanya mengubah rumus penghitungannya.

Hitungan dana riset yang dirilis pada tahun 2014 dikeluarkan oleh Pusat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Papiptek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Trinaffizanty, Kepala Papiptek, mengatakan, “Kalau perhitungan sebelumnya, kami hanya menghitung dana yang memang digunakan untuk litbang (penelitian dan pengembangan).”

Penghitungan saat itu tidak menyertakan anggaran belanja riset daerah, anggaran belanja riset universitas, gaji dan tunjangan peneliti, dana lembaga penelitian untuk kegiatan non-litbang, serta lainnya.

Papiptek juga menghitung berdasarkan serapan anggaran lembaga penelitian, bukan dana yang dialokasikan untuk lembaga tersebut.

Dana riset 0,2 persen dihitung dengan cara berbeda, memasukkan gaji dan tunjangan peneliti, anggaran belanja riset daerah, serta berdasarkan anggaran yang dialokasikan untuk lembaga riset.

Sementara itu, anggaran pihak swasta pada perhitungan tahun 2014 ataupun 2016 sama-sama tidak dimasukkan. Hal itu disebabkan oleh minimnya data.

Dengan demikian, kenaikan angka dana penelitian tidak mencerminkan kenaikan yang sesungguhnya, tetapi hanya karena rumus diubah dan variabel yang ditambah.

Trinaffizanty mengatakan, bila komponen gaji peneliti dan anggaran non-litbang tak dimasukkan, maka perubahan anggaran riset tidak signifikan.

Walau demikian, Nasir mengungkapkan bahwa penghitungan ulang diperlukan untuk penyusunan Rencana Induk Riset Nasional (RIRN).

Jurnal Nature pada 1 September 2016 mengeluarkan daftar negara dengan anggaran belanja tertinggi di dunia. Ada perubahan signifikan dibanding 10 tahun lalu.

Negara dengan anggaran riset tertinggi adalah Korea Selatan (4,3 persen PDB), Israel (4,1 persen PDB), dan Jepang (3,6 persen PDB).

Nasir mengakui, dana riset Indonesia masih rendah. Ke depan, ia mengharapkan pihak swasta ikut berperan dalam riset.

“Dari 0,2 yang kami rilis sekarang, anggaran pemerintah itu 0,15 dan swasta masih 0,05. Kami harapkan ke depan swasta bisa meningkatkannya,” ujarnya.

Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Muhammad Dimyati, mengatakan, kementeriannya tengah mengupayakan revisi Peraturan Presiden Nomor 54 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Ia mengharapkan, perusahaan yang menganggarkan dana lebih untuk riset akan mendapatkan insentif berupa double tax deduction.

“Harapan kami, dengan perubahan yang kami usulkan, suasana riset bisa lebih baik,” katanya. (IFR/Kompas.com)

Join The Discussion