News

Cerita Ilmuwan Indonesia yang Melakukan Riset ke Antartika

Yogyakarta – Tak sembarang ilmuwan bisa melakukan penelitian di Benua Antartika. Terdapat Traktat Antartika yang ada sejak tahun 1961 mengatur kegiatan ilmu pengetahuan di benua tersebut.

“Tidak boleh membawa hewan, membuang sampah, berinteraksi dengan penguin atau hewan minimal 5 meter. Takutnya ada bakteri atau penyakit yang kita tularkan ke mereka,” ujar Geolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Nugroho Imam Setiawan.

Hal ini disampaikan Nugroho saat ditemui di kantornya di Laboratorium Geologi Optik, Departemen Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Jalan Grafika No 2, Sleman, Selasa (18/10/2016).

Tak hanya itu, peneliti dilarang membawa senjata api dan apapun yang dilakukannya nanti di sana haruslah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Tidak boleh ada kepentingan ekonomi atau apapun yang terselip di antaranya.

“Sehingga sebetulnya, misalnya geologi aplikasi juga tidak boleh (penelitian) di sana. Yang berhubungan dengan mencari sumber daya alam itu tidak boleh. Nanti di sana akan kita temui batu Ruby, tapi ya tidak boleh (diambil),” imbuhnya.

Traktat Antartika hingga saat ini telah diratifikasi oleh 53 negara di dunia. Beberapa negara Asia yang telah menjadi anggota konsultatif traktat sekaligus yang memiliki base camp penelitian di sana adalah Jepang, India, Tiongkok dan Korea Selatan.

Sedangkan negara Asia yang terdaftar sebagai anggota pengamat aktif yaitu Malaysia, Pakistan dan Papua Nugini. Ketiganya belum memiliki base camp penelitian di Antartika namun Nugroho yakin terutama Malaysia telah mengarah pada tujuan itu.

Nugroho mengaku sebagai geolog dari Indonesia pertama yang melakukan penelitian di Antartika, ekspedisi yang akan dilaksanakannya pada November 2016 hingga Maret 2017 nanti menjadi capaian akademis yang tak boleh disepelekan.

“Artinya, kita sudah meneliti di sana, sudah berpartisipasi sampai ke sana, kita sudah punya kualitas yang sama dengan negara-negara maju yang sudah punya base camp di sana. Indonesia bisa di sana, berarti satu level dengan negara maju,” urainya optimistis.

Sehingga saat ini, kata Nugroho, dibutuhkan dukungan lebih banyak dari pemerintah untuk penelitian-penelitian di Antartika, apapun topik penelitiannya.

Namun, Nugroho tak kemudian menyalahkan prioritas pemerintah Indonesia yang belum mengarah pada perkembangan ilmu pengetahuan. Terutama ilmu pengetahuan dasar, seperti geologi.

“Sebagai negara berkembang, kita juga tidak bisa menutup mata negara kita masih butuh banyak uang untuk men-suport pembangunan,” tuturnya.

Hal ini berbeda dengan negara maju yang telah selesai dengan kebutuhan dasar pembangunannya sehingga mereka kini berlomba-lomba melakukan penelitian di berbagai bidang ilmu pengetahuan.

“Negara maju, sudah sampai bulan penelitiannya. Di Indonesia masalah SARA saja masih berlarut-larut, butuh uang yang besar, pembangunan belum merata, Papua masih begini, begini. Kalau kita memikirkan mau ke Antartika, saya tidak menuntut banyak dari pemerintah,” urai Nugroho.

Meski begitu, dia berharap ilmuwan di Indonesia tidak kemudian diam hanya sibuk menunggu dan menyalahkan pemerintah yang belum bisa menggelontorkan dana besar untuk penelitiannya. Menurutnya, menjadi ilmuwan juga dituntut kreatif dan aktif mencari peluang.

“Jangan hanya diam saja. Banyak negara maju yang membuka peluang kita bergabung, harus dimanfaatkan,” tegas Nugroho.

 Nugroho bercerita, saat ini telah ada Asian Forum for Polar Sciences (AFoPS) yang beranggotakan Jepang, Korea Selatan, Malaysia, India, dan Tiongkok.

Sebagai negara kepulauan, tak heran negara-negara tersebut berhasrat melakukan penelitian di Antartika dengan lebih serius.

“Sebagai negara kepulauan kita sensitif dengan perubahan permukaan air laut, perubahan iklim, kondisi laut akan sangat mudah bisa kita temukan dengan penelitian di Antartika. Itu sudah menjadi main focus mereka (anggota AFoPS)” jelasnya.

Tak hanya itu, Nugroho menilai ketika negara mendirikan base camp penelitian di Antartika, akan menjadi nilai gengsi tersendiri bagi negara tersebut. Base camp penelitian di Antartika akan menunjukkan level ilmu pengetahuan dan teknologi pemiliknya.

“Indonesia (di AFoPS) perannya sebagai observer. Ketika mereka memaparkan hasil penelitiannya, kita ikut mendengarkan dan memberikan masukan,” tutur Nugroho.  (IFR/Detik.com)

Join The Discussion