Indonesia memiliki flora beragam dan eksotis. Saat bunga itu diperdagangkan, produktivitasnya harus tinggi dan bermutu baik. Teknik perbanyakan dengan embriogenesis somatik jadi solusi.
Sebagai wilayah tropis beriklim basah, Indonesia adalah surga bagi aneka jenis flora. Keanekaragamannya terbesar di dunia, sekitar 40.000 jenis. Dari puluhan ribu spesies flora, beberapa bunga berpenampilan eksotis dipilih sebagai ciri khas di setiap provinsi dan beberapa dipilih sebagai bunga nasional.
Jenis bunga itu adalah melati (Jasminum sambac) sebagai Puspa Bangsa, anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) ditetapkan sebagai Puspa Pesona, dan padma raksasa (Rafflesia arnoldii) sebagai Puspa Langka. Setiap provinsi memiliki ciri flora sendiri.
Sebagai contoh, Aceh memilih bunga jeumpa (Michelia champaca), Sumatera Utara punya kenanga (Cananga odorata), dan Bengkulu punya padma raksasa (Rafflesia arnoldii). Sementara Jawa Tengah memilih kantil (Michelia alba), Jawa Timur punya sedap malam (Polyanthes tuberosa), dan Sulawesi Barat memilih cempaka hutan kasar (Elmerrillia ovalis).
Selain itu, tiga provinsi memilih anggrek, yakni Kalimantan Timur (anggrek hitam/Coelogyne pandurata), Sulawesi Tenggara (anggrek serat/Dendrobium utile), dan Maluku (anggrek larat/ Dendrobium phalaenopsis).
Di antara sekian jenis tanaman berbunga sebagai simbol daerah, bunga anggrek banyak dipilih lantaran bentuk kelopak bunganya unik dan eksotis; ukuran, warna, dan coraknya variatif; serta tak mudah layu.
Karena itu, anggrek banyak diminati dan memiliki pasar luas hingga ke mancanegara. Di hutan Indonesia, tanaman anggrek melimpah, diperkirakan ada sekitar 5.000 jenis atau 25 persen dari jumlah total jenis anggrek di dunia.
Beberapa jenis anggrek yang memiliki pasar tinggi dan terus meningkat ialah anggrek ungu (Dendrobium), anggrek bulan (Phalaenopsis), dan anggrek vanda.
Menurut Badan Pusat Statistik, produksi bunga potong anggrek naik 9 persen menjadi 21,5 juta tangkai pada 2015. Namun, produksi dalam negeri, terutama bagi bibit anggrek, belum bisa memenuhi kebutuhan konsumen domestik sehingga harus diimpor.
”Sebenarnya Indonesia memiliki banyak varietas unggul baru (VUB) anggrek yang berpotensi dikembangkan dan bersaing dengan produk impor,” kata Fitri Rachmawati, pakar fisiologi tanaman dari Balai Penelitian Tanaman Hias Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balithi-Batlitbangtan). Dari pemuliaan anggrek yang dilakukan bersama timnya sejak 2005 hingga April 2018, telah dihasilkan lebih dari 30 varietas VUB. Selain itu, ada klon baru terseleksi siap didaftarkan.
Namun, menurut Kepala Balithi-Balitbangtan Rudy Soehendi, varietas baru ini belum merambah pasar karena penyediaan benihnya belum berskala massal dan berkelanjutan. Ketersediaan benih diperlukan demi menunjang agribisnis anggrek yang menuntut penyediaan bibit massal, cepat, dan bermutu merata.
Untuk mendukung pelepasan VUB anggrek secara komersial, Balithi mengembangkan teknologi perbanyakan benih secara in vitro atau dalam tabung atau botol kaca dan cawan petri di laboratorium. Dalam tabung kaca itu, bagian tanaman, seperti sel atau jaringan dari akar batang atau daun, diisolasi dalam kondisi steril atau bebas mikroorganisme. Lalu jaringan tanaman akan memperbanyak diri jadi tunas tanaman yang lengkap kembali.
Teknik ”in vitro”
Teknologi perbanyakan anggrek secara in vitro ini berhasil dikembangkan peneliti di Balithi, tapi hasil risetnya bersifat parsial dan belum menghasilkan benih skala massal dengan mutu merata. Kendala utamanya antara lain sumber potongan tanaman atau eksplan, regenerasi eksplan, dan tingkat multiplikasi rendah.
Untuk mengatasi kendala itu, teknologi embriogenesis somatik (ES) berbasis bioreaktor diterapkan. Perbanyakan benih tanaman dengan teknik ini jadi solusi menghasilkan benih atau bibit tanaman dalam jumlah banyak dan waktu singkat serta bebas dari virus, hama, dan penyakit.
”Teknologi ini menghasilkan benih bermutu, berjumlah besar, seragam, dalam waktu singkat, dan berkesinambungan,” kata Fitri Rachmawati yang juga pakar rekayasa genetika.
Embriogenesis somatik merupakan pembentukan embrio dari sel tubuh atau somatik (istilah Yunani) jadi tanaman baru dengan komposisi lengkap, yang sama dengan tanaman aslinya.
Keberhasilan perbanyakan tanaman dengan cara ES dipengaruhi, antara lain, tipe gen genotipe tanaman donor atau aslinya, jenis dan ukuran kultur tanaman asli, fisiologi tanaman, jenisnya, zat pengatur tumbuh, dan lingkungan kultur, seperti cahaya, suhu, dan keasaman. Kesesuaian berbagai faktor itu jadi penentu kesuksesan embriogenesis.
Bioreaktor
Bioreaktor adalah tempat untuk melakukan reaksi biologi pada wadah kultur sel secara aerobik atau di atas meja bergerak berputar horizontal. Sistem ini banyak dipakai dalam industri mikrobial dan perbanyakan massal benih tanaman.
Pada kultur in vitro anggrek, bioreaktor diaplikasikan pada Phalaenopsis, Oncidium, dan anggrek Dendrobium. Pemanfaatan bioreaktor untuk perbanyakan massal tanaman pertama kali diperkenalkan Takayama tahun 1981 pada tanaman begonia.
Manfaat penggunaan alat ini di antaranya adalah meningkatkan kecepatan proliferasi sel karena penambahan oksigen serta pergerakan aktif sel dan media berdampak positif pada pertumbuhan dan perkembangan sel sehingga menghasilkan biomassa sel tinggi. Biaya operasional pun lebih murah, yakni menekan biaya produksi hingga 24 persen.
Fitri pada risetnya tahun 2016 saat menjalani program pascasarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) berhasil mengembangkan teknologi ES berbasis bioreaktor untuk perbanyakan massal anggrek Dendrobium.
Hasil risetnya menunjukkan, pada skala percobaan produksi massal kalus (kumpulan sel yang tumbuh tidak beraturan) memakai sistem kultur cair dalam bioreaktor menghasilkan produktivitas lebih tinggi daripada kultur cair konvensional. Sistem bioreaktor meningkatkan pertumbuhannya hingga 6 kali, menghasilkan 94 persen benih, dan berjumlah amat banyak.
Teknologi ini bisa diterapkan dalam penyediaan benih bermutu dan seragam skala komersial bagi berbagai jenis anggrek. Namun, pengembangannya skala komersial perlu dikaji lebih lanjut agar bisa diadopsi industri produsen dan petani penangkar, bernilai ekonomis, ada permintaan pasar, serta pemain pasar jenis anggrek yang dipilih.
Penerapan teknologi ini diharapkan membantu menyiapkan benih anggrek bermutu dalam jumlah besar dan berkesinambungan demi mendukung pengembangan agribisnis anggrek di Indonesia untuk pasar lokal dan global. Harapannya, anggrek produk nasional jadi tuan di negeri sendiri dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional lewat aktivitas agribisnis anggrek dan ekspor anggrek.
Sistem perbanyakan dengan ES diperkenalkan di Indonesia pada 1980-an, lalu teknologi dan aplikasinya berkembang. Selain pada anggrek, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Enny Sudarmonowati, mengaplikasikan ES pada ubi kayu dan cendana sejak 1987 dan menghasilkan klon ubi kayu.
Sementara di Balithi, teknik perbanyakan tanaman dengan persilangan dan mutasi sinar gamma dilakukan untuk krisan yang diwarisi pembudidayaannya sejak zaman Belanda. ”Untuk pembudidayaan tanaman hias ini, peneliti LIPI dikirim ke Belanda untuk mendalami teknik perbanyakan bibit sesuai standar mutu,” kata Lia Sanjaya, pemulia krisan di Balithi Cianjur.
Di Kebun Raya Bogor (KRB), perbanyakan jenis anggrek dilakukan Yupi Isnaini, pakar kultur jaringan dari Balai Konservasi KRB LIPI, dan tim dengan teknik perbanyakan memakai biji. Ada sekitar 500 jenis anggrek dikembangkan dengan teknik tersebut.
Sementara persilangan dengan semikultur jaringan dilakukan Sri Rahayu di KRB untuk tanaman hoya dan bunga lipstik yang diminati konsumen tanaman hias di Belanda. Menurut Sri, potensi paten penerapan kultur jaringan ialah komposisi media dan zat pengatur pertumbuhan bibit tanaman hias ini. (HARIAN KOMPAS 21/5)