News

BPP Paparkan Hasil Penelitian Implementasi Money Follow Program di Beberapa Daerah

JAKARTA – BPP Kemendagri melalui Pusat Litbang Pembangunan dan Keuangan Daerah melaporkan hasil penelitian terkait Implementasi Restrukturisasi Program dan Kegiatan Berbasis Money Follow Program di beberapa daerah seperti di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, dan DIY pada Rabu (10/5) di Aula BPP Kemendagri.

Pada seminar laporan akhir tersebut, hadir berbagai narasumber seperti Muchlis Hamdi (Akademisi IPDN), Tavip Agus Rayanto (Kepala Bappeda Provinsi DIY), Darryl Ichwan Akmal (Bappenas), dan Direktur Perencanaan, Evaluasi dan Informasi Pembangunan Daerah Bina Pembangunan Daerah Kemendagri. Awal acara, Pusat Litbang yang dipimpin oleh Indrajaya Ramzie itu memaparkan hasil kajiannya yang disampaikan oleh Melati Ayuning, peneliti BPP.

Pada paparan tersebut disampaikan bahwa perencanaan program dan kegiatan dengan menggunakan pendekatan money follow program telah banyak diimplementasikan di berbagai daerah, mengingat amanat dari Presiden Joko Widodo dalam menghemat anggaran dan memprioritaskan program dengan output yang jelas dan mengena di masyarakat.

Beberapa daerah sudah mengimplementasikan hal tersebut, dan merasakan hasil yang positif dari penerapan implementasi money follow program. Seperti lebih cepat, lebih efisien karena lebih mengedepankan objektivitas prioritas sehingga lebih jelas dan terukur untuk pencapaian sasaran pembangunan. Begitu juga untuk waktu penyusunan program dan kegiatan, karena pemangku kebijakan sudah diarahkan agar sesuai program prioritas yang sudah ditentukan, sehingga tidak banyak terjadi perdebatan antar stakeholder terkait.

Namun sayangnya kebanyakan daerah yang menjadi fokus kajian Puslitbang Pembangunan dan Keuangan Daeraeh BPP, implementasi money follow program masih bervariasi tergantung persepsi masing-masing daerah. Selain itu, juga masih ada keraguan bagi daerah dalam melaksanakannya terutama terkait dasar hukumnya. “Seperti di daerah Sumatera Barat, masih belum sepenuhnya karena masih tahap penyesuain dan sosialisasi masih minim terkait orientasi arah kebijakan pusat dan sistem perencanaan daerah,” terang Melati.

Ia menyimpulkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan beberapa daerah yang menjadi penghambat dan pendukung implemantasi restrurisasi program dan kegiatan money follow program ini. “Pertama dari sisi SDM dan anggaran yang tidak didukung dari instruksi Presiden. Lalu kedua, dari sisi subtansi kebijakan, perilaku pelaksana implementasi restrukrisasi ini belum dapat berkomitmen kuat untuk melaksanakan ini, lalu terakhir dari interaksi jejaring kerja dan partisipasi kelompok sasaran yang belum optimal,” tandasnya.

Ia berharap dalam permasalahan ini perlu dilakukan penyesuaian kebijakan Menteri Dalam Negeri terkait pedoman perencanaan pembangunan daerah dan pengalokasian anggaran secara lebih spesifik. “Perlu adanya revisi terhadap Permendagri No 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah, PP No 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, Permendagri No 77 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Permendagri No 52 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,” jelasnya.

Sejalan dengan revisi tersebut, perlu segera dilakukan untuk segera mendorong penyelesaian revisi UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang salah satu pengaturannya berkaitan dengan pelaksanaan sistem penganggaran berdasarkan money follow function. “Pemerintah juga perlu mendorong K/L untuk melakukan penyesuaian pengaturan mengenai NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) K/L dimaksud,” katanya.

Selain itu, perlu diterbitkan pedoman pelaksanaan penyusunan perencanaan dan penganggaran dengan menggunakan prinsip money follow program oleh Kemendagri bekerja sama dengan Bappenas. “Tak hanya itu, Kemendagri bekerja sama dengan Bappenas perlu melakukan pelatihan SDM perencana di daerah terkait tata cara penyusunan dan penganggaran,” ungkapnya.

Hal itu juga diamini oleh Tavip Agus Rayanto (Kepala Bappeda Provinsi DIY). Menurutnya, pembagian urusan anggaran di DIY masih dilakukan secara variatif dan disusun dengan cara kompetitif tiap SKPD terkait. “Jadi misal, kalau Bappeda dikasih 10 Miliar, tapi ternyata pencapaian kerjanya hanya 80 persen, maka ia hanya terima 8 miliar, yang 2 miliar diberikan pada SKPD yang nilai pencapaian kerjanya di atas rata-rata, ini wujud reward Pemerintah DIY. Semua program prioritas di DIY disusun terlebih dahulu oleh Bappeda yang merupakan penjabaran dari visi misi Gubernur untuk kemudian masing-masing OPD mengusulkan kegiatan tersebut sesuai dengan program prioritas yang telah ditentukan,” jelas Tavip.

Setelah pelaksanaan prinsip money follow program perencanaan program di DIY tidak lagi melihat struktur organisasi s/d Eselon IV, tetapi menjadi program dan kegiatan bersama. “Program dilaksanakan bersama-sama dengan beberapa SKPD untuk ruang lingkup yang lebih besar. Ini merupakan kehendak dari Gubernur kami, saat saya mengatakan lebih milih serapan bagus apa efisiensi anggaran. Lalu Pak Gubernur minta lebih baik efisiensi anggaran saja, jadi lebih terasa di masyarakat. Cara ini murni kita atur sendiri dalam mengelola manajemen keuangan di daerah. Ke depannya, saya berharap Pemerintah Pusat juga bisa melakukan pelatihan SDM perencana di beberapa daerah terkait tata cara penyusunan dan penganggaran, seperti apa yang telah disampaikan dalam kajian BPP,” imbuhnya. (IFR)

 

Join The Discussion