News

BPP Kemendagri Paparkan Hasil Kajian Inovasi Terminal Terhadap PAD

JAKARTA – Pemanfaatan terminal oleh sejumlah masyarakat perlahan kini mulai ditinggalkan, meskipun di beberapa daerah sudah menerapkan beragam inovasi pelayanan fasilitas di terminal. Hal ini tentu mempengaruhi retribusi dan PAD (Pendapatan Asli Setiap Daerah), itulah yang dijelaskan oleh Ray Ferza dalam acara Seminar Laporan Akhir Kajian Strategis Inovasi Pelayanan Terminal dalam Upaya Peningkatan PAD (Dampak Peralihan Kewenangan Setelah Diberlakukannya UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah).

Pada paparan tersebut, Ray menemukan beberapa fakta menarik terhadap kajian yang dilakukan di beberapa lokus kajian lainnya. Seperti di Terminal Tirtonadi (Solo) yang melakukan inovasi secara total, seperti pengadaan CCTV, ruang menyusui, sistem boarding pass, dan smart card (dalam wacana). Namun sayangnya, inovasi secara menyeluruh tersebut belum diterapkan di daerah yang menjadi lokus kajiannya seperti di Terminal Pasar Banto (Bukittinggi), Paal Dua (Manado), Pakupatan (Serang), dan Leuwipanjang (Bandung).

“Hal itu tergantung dari inisiasi Kepala Daerah masing-masing dan faktor lainnya seperti SDM dan anggaran daerah. Makanya, di beberapa daerah seperti di Terminal Leuwipanjang dan Pakupatan penerapan inovasi hanya pada sistem boarding pass saja,” terangnya.

Meski Terminal Tirtonadi telah menerapkan banyak inovasi supaya menarik retribusi yang lebih banyak, namun ternyata inovasi tersebut tidak berdampak secara signifikan, sehingga Pendapatan Asli Daerah pun tidak berpengaruh dari retribusi tersebut. “Meski inovasi ini memberi dampak positif terhadap tingkat kepuasaan penumpang, tapi secara kuantitas, jumlah penumpang justru tidak berpengaruh. Karena derasnya daya saing pengelola transportasi. Sekarang banyak masyarakat yang sudah menggunakan transportasi online dan kendaraan pribadi,” jelasnya.

Paparan Ray tersebut kemudian mendapat tanggapan dari beberapa narasumber ahli yang datang, salah satunya Budi Ernawan, Kasubdit Pendapatan Daerah Wilayah III, Keuangan Daerah. Ia mengatakan, sebenarnya penyumbang terbesar dari PAD setiap daerah memang bukan dari retribusi, melainkan dari pajak.

“Seperti DKI Jakarta, PAD-nya 46,3 trilliun, dari pajak sebesar 36 T, sementara dari retribusi hanya 600 milliar. Itu makanya retribusi tidak berpengaruh secara signifikan. Retribusi itu sebuah sistem pelayanan, beda kalau pajak yang harus dipaksakan. Makanya, ketika melakukan inovasi, daerah harus melihat kepadatan sekitar terminal, penataan ruangnya harus menjadi pusat kehidupan. Kalau tidak seperti itu, ya terminal akan jadi seperti itu saja,” paparnya.

Pusat kehidupan itu misalnya didirikan pusat perdagangan atau hotel di sekeliling terminal, sehingga fungsi terminal tidak hanya untuk para penumpang bus, tetapi juga untuk semua lapisan masyarakat, dari situ bisa ditarik pajak dari pedagang dsb. “Tapi ingat, jangan sampai pengelolaan ini menjadi kemacetan akibat pasar tumpah dan sebagainya,” ungkapnya.

Selain itu, permasalahan lain dalam pengelolaan terminal juga dipengaruhi dari masalah peralihan kewenangan sejak diberlakukan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut, mengatur peralihan wewenang terminal tipe A yang tadinya di bawah pengelolaan Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi wewenang Pemerintah Provinsi.

“Dari sisi prasarana dan sarana beberapa daerah menghadapi masalah terkait status kepemilikan lahan terminal, seperti sengketa lahan, lahan tidak bersertifikat, dan juga status tanah pinjam pakai. Selain itu belum ada penegasan mengenai mekanisme penyerahan pada asset dengan status dalam pengerjaan dan dana pinjaman. Akibatnya banyak daerah yang mereposisi asset setelah mengetahui kewenangan pengelolaan terminal,” tandas Ray melanjutkan paparannya.

Hal itu pun juga ditanggapi oleh narasumber lain Wahyu Suharto, Kasubdit Perhubungan Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri. “Sebenarnya peralihan wewenang dari Kabupaten ke Pusat itu justru meringankan tugas Kabupaten/Kota. Ada juga beberapa terminal tipe A (trayek bus AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) yang sudah diambil oleh Kemenhub. Hingga kini ada 146 terminal tipe A di 27 Provinsi yang sudah dilakukan P3D (Peralihan personel, pembiayaan, peralatan dan dokumen), dan ada 22 terminal yang sudah beralih fungsi menjadi pom bensin atau taman. Rencananya penjelasan alih wewenang ini akan kami rampungkan pada Oktober ini. Info dari Dinas Perhubungan, sudah dialokasi anggarannya untuk belanja pegawai dan non pegawai. Seperti Terminal Tirtonadi ini akan terintegrasi dengan Bandara dan Stasiun, anggarannya sudah ada 600 – 800 milliar,” jelasnya.

Wahyu menambahkan, permasalahan yang ditemui dalam kajian BPP tersebut semestinya bisa menjadi perhatian bersama Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. “Misalnya, harus diperhatikan bagaimana bus AKAP harus di terminal tipe A sementara AKDP (Antar Kota Dalam Provinsi) di terminal tipe B, selain itu trayek kecil seperti angkot juga diperhatikan, agar tidak ada terminal bayangan dan sama-sama menguntungkan masyarakat dalam mengakses bus,” sarannya. (IFR)

Join The Discussion