JAKARTA – Semenjak diberlakukan model SAP (Sistem Akuntansi Pemerintah) berbasis Akrual sesuai dengan amanat PP 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, seluruh daerah diwajibkan secara bertahap dapat melaksanakannya sistem tersebut paling lambat empat tahun setelah tahun anggaran 2010 dan penerapan harus sudah diterapkan secara penuh pada 2015.
Hal ini tentu menjadi tugas berat pemerintah daerah, yang hingga kini belum sepenuhnya paham akan penerapan SAP berbasis akrual tersebut. “Ibarat logam emas, penerapan SAP berbasis akrual di beberapa daerah itu belum 24 karat. Masih ada daerah yang emasnya baru 18 karat, 22 karat, tapi judulnya tetap emas. Artinya semua daerah sudah menerapkan namun dalam implementasinya masih banyak permasalahan,” kata Nuril Fikri Aulia, Peneliti Pusat Litbang Pembangunan dan Keuangan Daerah BPP Kemendagri dalam Seminar Laporan Akhir Kajian Strategis Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual di Daerah, Rabu (17/05) di Aula BPP.
Pokok permasalahan tersebutlah yang menjadi kajian strategis Nuril dan tim peneliti Puslitbang Pembangunan dan Keuangan Daerah untuk mencari tahu faktor apa yang menjadi kendala daerah selama ini. Ia mencoba mengkaji penerapan SAP berbasis akrual di empat daerah, yakni Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
“Sebenarnya penelitian kami ini dilatarbelakangi oleh data yang menunjukkan ada peningkatan laporan keuangan daerah dengan WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari tahun ke tahun. Utamanya sejak diimbaunya penerapan SAP berbasis akrual tersebut. Pada 2010 misalnya, angka WTP hanya 6 provinsi, dan WDP sebesar 22 provinsi dengan disclaimer 5 provinsi. Angka it uterus meningkat pada 2014 WTP menjadi 26 provinsi, dan pada 2015 menjadi 29 provinsi,” ungkapnya.
Namun sayangnya, Nuril menambahkan, banyak daerah yang terkendala berbagai faktor yang menyebabkan penerapan SAP berbasis akrual tidak menyentuh semua lini pelaporan di daerah. “Pada dasarnya, sejak 2015 mereka sudah menerapkan SAP berbasis akrual, bahkan telah menciptakan Pergub masing-masing. Hanya saja, ada beberapa masalah. Seperti di Bengkulu, belum semua OPD (Organisasi Perangkat Daerah) menerapkannya, dan di Sumbar dan Jabar masih dalam tahap adaptasi dari CTA (Cash to Acrual) ke SAP Akrual,” jelasnya.
Peralihan wewenang dari Pemerintah Kabupaten/Kota ke Pemerintah Provinsi atau penggabungan OPD di beberapa daerah juga mengalami kendala permasalahan penggunaan SAP ini. “Alih wewenang seperti di bidang pendidikan atau bidang lainnya, membuat adanya perubahan SOTK (Susunan Organisasi dan Tata Kerja) secara besar-besaran. Akibatnya, ada beberapa daerah yang kekurangan SDM (Sumber Daya Manusia) akibat peralihan jabatan, selain itu peralihan wewenang ini juga menimbulkan peralihan asset yang tidak kunjung selesai antara pusat dan daerah,” papar Nuril.
Hal itu juga diamini oleh Syarifuddin, Direktur Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri. “Penerapan SAP berbasis akrual memang tidak mudah. Di Selandia Baru saja sudah dimulai sejak 1992, tapi baru penuh akrual pada 2002. Padahal penduduknya hanya di bawah 30 juta saja. Itu artinya butuh transisi yang tidak singkat. Namun bukan berarti Indonesia pesimis,” terang pria yang baru dilantik menjadi Plt. Ditjen Bina Keungan Daerah menggantikan Reydonnyzar Moenek yang kini menjadi Wakil Rektor IPDN.
Syarif mengaku, dirinya tengah sibuk merevisi UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. “Mengapa direvisi? Karena sama-sama ada klausul mengangkat APBD. Ada aturan yang rancu dan berbenturan antara UU No 33 Tahun 2004 dengan PP No 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Di dalam PP No 71 Tahun 2010, LRA (Laporan Realisasi Anggaran) tidak singkron dengan APBD, maka suka atau tidak suka pemerintah daerah lebih berpedoman pada PP No 71 Tahun 2010. Makanya ini yang menjadi pekerjaan rumah kami untuk membenahi,” terangnya. (IFR)