JAKARTA – Untuk menguatkan pertumbuhan ekonomi, Pemerintah menerapkan kebijakan pengembangan zonasi seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Namun 10 tahun kebijakan tersebut bergulir, KEK tidak serta merta memberikan dampak yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Dari 13 KEK yang sudah diresmikan pemerintah saat ini, belum ada satu pun yang benar-benar dikatakan maju dan menjadi percontohan. Progres pengembangan dan pembangunan 13 KEK masih berjalan lambat, ini tercermin dari rendahnya serapan tenaga kerja serta realisasi investasi untuk proyek-proyek tersebut.
Problematika tersebut menjadi isu menarik yang didiskusikan dalam Forum Diskusi Aktual (FDA), terkait Kolaborasi Pusat-Daerah dalam Mengoptimalkan Kawasan Ekonomi Khusus sebagai Stimulasi Perekonomian Daerah. FDA tersebut diinisiasi oleh Pusat Litbang Pembangunan dan Keuangan Daerah Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kemendagri, dan dilaksanakan pada Kamis (31/10).
Hadir sebagai Narasumber di antaranya Peneliti Senior CSIS Jakarta Raymond Atje, Direktur Kawasan, Perkotaan dan Batas Negara Kemendagri Thomas Umbu Pati, dan Humas Kemenko Perekonomian Ahmad Buchori. FDA juga dihadiri oleh para peserta dari berbagai OPD di daerah terkait pengelolaan KEK.
Permasalahan KEK seperti tidak pernah selesai. Salah satu yang paling nampak di hadapan publik adalah dualisme pengelolaan KEK di Batam yang dinaungi permasalahan ketidakjelasan garis kewenangan. Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah hingga kini juga belum terlihat progress dan hasilnya.
Masih banyaknya permasalahan KEK selama ini juga diakui oleh Direktur Kawasan, Perkotaan dan Batas Negara Kemendagri Thomas Umbu Pati. Menurutnya solusinya adalah, pemerintah daerah harus mengevaluasi menyeluruh terkait pembentukan KEK di daerahnya. Pemerintah daerah juga harus berani mengatakan bahwa KEK tersebut gagal. Ia juga mengakui sulitnya koordinasi antar-lembaga pengelola. “Kita sering menemukan fakta-fakta di lapangan, seperti contoh ada Badan Otorita pengelola tidak saling kenal,” tuturnya.
Infrastruktur dan regulasi
Menurut Thomas, permasalahan KEK selanjutnya, adalah terkait infrastruktur. Banyak KEK seperti lambat beroperasi karena tidak di dukung infrastruktur yang memadai. Sebagai contoh KEK Tanjung Lesung tidak didukung oleh keberadaan infrastruktur seperti jalan Tol.
Pernyataan Thomas juga diakui oleh salah seorang peserta yang menangani KEK Tanjung Lesung. Menurutnya solusi yang paling rasional adalah pemerintah pusat harus mendukung pembangunan infrastruktur seperti rel kereta api, bandara, dan juga tol. “Itu sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan selama beberapa tahun sejak diresmikan,” ucapnya.
Terkait infrastruktur, Bappeda Maluku Utara Dedi menyayangkan belum tepatnya regulasi dalam hal pengembangan KEK terutama dalam pembangunan infrastruktur dan perizinan investasi. Misalnya KEK Morotai tidak didukung dengan infrastruktur memadai seperti keberadaan bandara internasional, dan infrastruktur penunjang di daerah sekitarnya. “Maka jangan berharap Morotai layaknya Mandalika yang dibiayai negara. Morotai dibiayai oleh swasta. Kita tidak bisa berkembang, padahal harapan kita semua ada pusat pertumbuhan baru di sana,” terangnya.
Dedi juga menyayangkan banyaknya regulasi yang membuat investor lari. Selain tidak ada bandara internasional karena harus ada syarat-syarat khusus, juga terkait regulasi antar-kementerian. “Misalnya investor banyak lari karena ada regulasi yang tidak mereka terima. Pernah ada perusahaan Taiwan akan membangun perusahaan ikan. Mereka tidak diperbolehkan membawa kapal dari negaranya, akhirnya mereka tidak jadi,” keluhnya.
Layak secara komersil
Beberapa fakta-fakta yang terjadi dalam pengelolaan KEK menjadi perhatian khusus Raymond Atje Peneliti CSIS. Menurut Atje, banyak KEK tidak begitu moncer, salah satunya dikarenakan pemerintah kurang memerhatikan commercially viable (layak secara komersial) sebuah kawasan ketika daerah mengusulkan. Pemerintah menurut Atje harus bisa memastikan perusahaan dan kawasan bisa untung dalam jangka panjang.
Atje juga menilai kawasan seperti Morotai dan Bitung adalah kawasan yang kelayakan komersilnya diragukan. Ia menekankan pada letak geografis yang jauh dengan jumlah penduduk yang sedikit. Begitu juga dengan Bitung yang hanya memiliki jumlah penduduk sekira 2 juta jiwa. “ Jangan sampai terjadi seperti Batam. Artinya KEK di kawasan bersangkutan harus punya peluang besar untuk berhasil. Artinya, dalam jangka panjang kawasan yang dimaksud bisa menarik investasi dalam jumlah besar, sehingga perkenomian di sana akan tumbuh secara berkesinambungan,” ungkapnya.
Humas Kemenko Perekonomian Ahmad Buchori mengatakan permasalahan pengelolaan KEK bukan hanya masalah kelayakan komersil, tetapi juga kemampuan kepala daerah. Misalnya menurut Buchori, banyak kepala daerah yang mengusulkan, namun tidak mampu menarik investor. Selain itu juga banyak kepala daerah yang tidak mampu menguasai lahan. “Penguasaan lahan juga menjadi kendala, KEK yang ada belum berhasil. Mereka megajukan tapi mereka juga tidak bisa menguasai lahan,” terangnya.
Selain itu, kompetensi pengelola KEK juga menjadi permasalahan. Patologi birokrasi dianggap masih menjadi beban kelembagaan KEK selama ini. Bahkan menurut Thomas, banyak KEK yang masih dikelola pejabat daerah yang tidak profesional. “Ketika tidak profesional mereka tidak akan berorientasi kepada keuntungan tapi lebih mempertimbangkan sosial politik sebagai pejabat publik. Ini juga menjadi contoh banyak perusahaan daerah tidak pernah maju,” ucapnya.
Saat ini usulan KEK terus bertambah, data terbaru dari Kemenko Perekonomian ada beberapa usulan baru. Berdasarkan data Dewan KEK, dari 13 proyek KEK yang ditargetkan beroperasi pada 2019, baru 6 yang berhasil diresmikan. Padahal, tahun ini menjadi penentuan bagi pemerintah untuk memenuhi salah satu target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN), yaitu mengoperasikan 13 KEK. Ada pun, realisasi investasi di 13 proyek tersebut baru Rp 17,7 triliun per November 2018 dari komitmen yang ditargetkan senilai Rp 104,54 triliun. Sementara itu, serapan tenaga kerjanya hanya 10.700 orang per November 2018 dari estimasi kebutuhan sebanyak 695.783 orang. (MSR)