JAKARTA-Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi persoalan yang terus mencuat akhir-akhir ini di Indonesia. Bahkan, asap yang ditimbulkan sempat menyebrang ke negara tetangga. Berbagai tindakan telah dilakukan pemerintah dan pihak terkait untuk menangani persoalan tersebut. Namun, kondisi itu masih saja terus berlangsung.
Guna memberikan kontribusi penyelesaian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Administrasi Kewilayahan, Pemerintahan Desa, dan Kependudukan (Puslitbang Adwil, Pemdes, dan Kepependudukan), Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri (BPP Kemendagri), menggelar Forum Diskusi Aktual besama sejumlah perwakilan pemerintah daerah dan narasumber dari berbagai bidang. Forum bertajuk “Penyebab, Dampak dan Solusi Penanganan Bencana Kebakaran Hutan” itu berlangsung di Aula BPP Kemendagri, Selasa (30/10).
Hadir sebagai pembicara, perwakilan Badan Restorasi Gambut, Budi S Wardhana, menjelaskan berbagai isu terkait karhutla, salah satunya lahan gambut dan potensinya terhadap kebakaran. Karhutla, kata Budi, tidak hanya terjadi di lahan tertentu, seperti konvensi, konservasi, maupun milik masyarakat. Tetapi, bencana itu bisa terjadi pada semua fungsi lahan, tanpa mengenal batas. Unit menajemen apapun yang kondisinya kering dengan ditopang kebakaran di sekitarnya, maka akan turut terbakar. “Kalau tidak ada upaya-upaya pengendalian dan pencegahannya,” katanya.
Ia menyebutkan, tiga kondisi yang memungkinkan terjadinya kebakaran pada lahan gambut. Pertama, kandungan biomasa dalam tanah. Budi mengatakan, jika kondisi lahan gambut kering maka lahan tersebut berpotensi terbakar. Kedua, kondisi kecukupan oksigen di dalam tanah. Gambut, dalam kondisi basah biasanya memiliki air di sela-selanya. Namun, jika muka air tersebut turun, maka sela-sela itu bakal terisi udara dan bisa menimbulkan kebakaran. Ketiga, adanya pencetus api yang kemungkinan besar diakibatkan ulah manusia.
Budi menuturkan, kebakaran yang terjadi di lahan gambut memiliki penanganan tersendiri. Sebab, meski sudah dipadamkan pada bagian atasnya, gambut seringkali masih menyimpan bara di dalamnya. “Dalam bilangan dua sampai tiga hari bisa menyala lagi,” kata Budi. Oleh karenanya, perlunya kecermatan petugas dalam memadamkan api di lahan gambut.
Selain itu, dengan mengenal karakter api yang tidak bergantung pada fungsi lahan, Budi menekankan pentingnya koordinasi antarpemangku kepentingan. Dalam koordinasi itu juga dibutuhkan sosok pemimpin, yang perannya dapat diambil oleh kepala daerah setempat. Koordinasi itu tidak hanya menyoal penanganan bencana tetapi juga pencegahannya. Menurut Budi, ongkos pencegahan karhutla lebih murah ketimbang penanganan setelah bencana. Terlebih pencegahan itu dapat melibatkan unsur masyarakat. “Jauh lebih menguntungkan kalau dilakukan upaya pencegahan dan juga pemulihan kerusakan, agar lahan-lahan tersebut tidak mudah terbakar,” tutur Budi.
Setiap tahun bencana karhutla di Indonesia memiliki luas lahan yang beragam. Budi menyebutkan, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tahun ini ada 895 ribu hektare tebakar. Dari angka itu, 270 ribu hektare berada di lahan gambut.
Selain Budi, hadir pula perwakilan dari Badan Nasional Pengelola Perbatasan, dan juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (MJA)