News

BPP Kemendagri Gelar Kajian Strategis Pilkada Papua

JAKARTA – Dalam kehidupan politik, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan pemenuhan hak politik masyarakat dan hak otonomi yang diberikan kepada daerah dalam memilih Kepala Daerahnya sendiri. Di Papua. Pilkada dimaknai tidak hanya sebatas pesta demokrasi penduduk setempat, tetapi juga diselimuti dengan tradisi budaya warga sekitar

Tanah Papua memiliki karakteristik berdemokrasi yang berbeda dengan wilayah lainnya. Sistem pemilunya tidak sama, mereka diatur dalam otonomi khusus (otsus) sebagai daerah istimewa Papua. Sistem itu yang dikenal banyak pihak dengan sebutan sistem Noken, (sistem menggunakan kotak suara Noken/benda berupa wadah/tas khas Papua yang digunakan sebagai simbol ke-khas-an Pilkada Papua)

Namun sayangnya sistem noken menjadi sumber utama praktik kecurangan dan konflik di Provinsi Papua, dalam sistem ini, kepala suku memiliki hak penuh untuk menyalurkan suara warganya. Hal ini merupakan konsekuensi sang kepala suku sebagai pemimpin politik, ekonomi, sosial, dan budaya. “Ketidakpatuhan pada keputusan kepala suku akan menjadi pemicu konflik Pilkada di Papua,” kata Syabnikmat Kepala Puslitbang Otda, Kesatuan, Politik dan PUM BPP Kemendagri dalam acara Seminar Laporan Akhir Kajian Strategis mengenai Strategi Kebijakan Pemilihan Kepala Daerah di Papua dan Papua Barat pada Kamis (30/8) di Aula BPP.

Tidak hanya sistem noken yang berpotensi konflik dalam Pilkada Papua, fenomena yang terjadi di lapangan seringkali menunjukan bahwa penyelenggara pemilu di Papua cenderung tidak bersikap independen sebagai lembaga negara yang sejatinya menjadi tumpuan peradilan permasalahan Pilkada. Menurut Bupati Mimika Eltinus Omaleng mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua cenderung tidak independen. “Di sana itu, KPU cenderung tidak independen, sering terjadi yang menang seharusnya nomor urut 1 tapi malah nomor 3 yang dilantik, kalau sudah begitu, biasanya ketegangan antar suku juga bermain,” terangnya.

Selain itu, masalah di Papua dan Papua Barat menurut Eltinus, juga terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak sesuai dan sulitnya akses Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP El) sebagai dokumen resmi pendataan DPT. “Di kami juga kadang-kadang sudah didata 500 orang misalnya, tapi nanti pas hari H bisa 15 ribu pemilih, entahlah mereka menyebutnya dengan istilah DPT jadi. Pokoknya jadinya seperti itu. Itulah yang menyebabkan kerusuhan dan ketegangan menjelang Pilkada,” paparnya.

Dia juga menambahkan, biasanya kalau sudah ribut-ribut begitu, pemerintah setempat perlu mengeluarkan biaya tambahan lagi untuk anggaran pengamanan. “Jadi tidak hanya soal persiapan distribusi dan TPS segala macam, tetapi juga dana pengamanan dari pemerintah dan perwakilan tiap suku yang bisa meredam konflik juga perlu biaya lagi,” terangnya.

Join The Discussion