News

BPP Kemendagi Kaji Pengaruh Transaksi Non Tunai di DKI

JAKARTA – Pusat Litbang Pembangunan dan Keuangan Daerah BPP Kemendagri menggelar FGD (Focuses Group Discussion) terkait dampak pelaksanaan transaksi non tunai terhadap efisiensi belanja daerah di DKI Jakarta pada Rabu, (26/7) di Aula BPP Kemendagri

Transaksi non tunai adalah pembayaran transaksi keuangan di Pemerintah Provinsi Jakarta yang beralih dari tunai ke transfer (non tunai). Dengan transaksi tersebut, penyelenggaraan keluar masuknya anggaran pemerintah dapat terdeteksi secara jelas melalui sistem pembayaran online.

Dalam acara tersebut hadir berbagai narasumber, seperti Ivanovich Agusta (IPB), Syaiful (Pemrov DKI Jakarta), dan dimoderatori oleh Mercy Pasande (Kepala Bidang Keuangan Daerah). Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Mercy dan tim membahas bagaimana pelaksanaan transaksi non tunai dalam belanja daerah serta dampak pelaksanaan tersebut.

Rupanya, di DKI Jakarta transaksi non tunai itu sudah diterapkan sejak 2014 (era Jokowi – Ahok) memimpin DKI. “Pada saat itu Pak Jokowi blusukan ke Jakarta, dia minta data pengeluaran yang ada di SKPD. Tapi data itu tidak tersedia, makanya Pak Jokowi minta Jakarta terdepan, terutama dalam penataan data keuangan,” ungkap Nuril, tim peneliti Mercy.

Menurut Syaiful, non tunai di DKI Jakarta merupakan salah satu bagian akuntabilitas. “Itu semua tergantung dari komitmen kepala daerahnya. Karena di DKI Jakarta dulu banyak sekali celah mark-up atau korupsi untuk setiap kegiatan di DKI Jakarta. Sekarang sudah tidak bisa. Setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang ingin membuat kegiatan, harus sertakan dulu SPJ (Surat Pertanggungjawaban) baru dapat UP/TUP (Uang Persediaan/Tambahan Uang Persedian),” kata Syaiful.

Kalau misalnya, kepala SKPD memaksa meminta kepada bendahara, maka bendahara berwenang melaporkan ke BKD (Badan Kepegawaian Daerah). “Di DKI Jakarta itu naik turun jabatan bukan sesuatu yang wow atau memalukan lagi, kami sudah biasa. Ada yang dari Eselon I lalu non job, lalu naik lagi jadi kepala bagian itu sudah biasa,” terangnya.

Hal itu ditanggapi oleh Ivanovich Agusta, menurutnya sistem transaksi non tunai itu berarti mengurangi celah korupsi pejabat DKI Jakarta. Ia menyarankan agar arah penelitiannya bukan hanya ke arah efisiensi tapi kea rah penekanan korupsi. “Sebetulnya angka korupsi yang ketat. Itu yg ditekankan,” katanya

Sistem di DKI Jakarta memang sepatutnya menjadi role model bagi beberapa daerah lain. SDM yang memumpuni, diisi oleh lulusan terbaik di bidangnya masing-masing, serta tindakan tegas pemerintah daerah semestinya patut ditiru oleh daerah lain. “Kemarin kita memang merombak struktur organisasi, terutama di penganggaran. Kami merekrut tenaga muda lulusan terbaik dari kampus ternama yang sekarang usia mereka baru 20-35 tahun sudah menjabat Eselon IV. Karena Pak Gubernur Ahok kemarin ingin SDM bendahara kita jangan ditaruh yang sudah tua-tua, bisa repot nanti tidak bisa diajak berlari dengan sistem non tunai ini. Dan kini terbukti, hasilnya bisa efisiensi anggaran 11-14 % tiap tahunnya,” tandas Syaiful.

Hal inilah yang akan dilaporkan oleh BPP Kemendagri agar menjadi rekomendasi Menteri Dalam Negeri menciptakan sistem non tunai seperti DKI Jakarta di daerah-daerah lain. “Kalau ini bisa diterapkan di daerah lainnya, tentu anggaran belanja di daerah lain juga bisa efisien,” tutup Mercy. (IFR)

Join The Discussion