JAKARTA – Kementerian DaLam Negeri melalui Puslitbang, Adwil, Pemdes, dan Kependudukan BPP Kemendagri akan melakukan kajian mengenai penyelenggaraan kebijakan Kartu Identitas Anak (KIA) dari sisi karakteristik daerah perkotaan, perdesaan, dan wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Menurut Hari Prasetyo Peneliti BPP Kemendagri, alasan pihaknya memilih pendekatan karakteristik wilayah adalah, karena selama ini penelitian mengenai data kependudukan khususnya KIA hanya terfokus pada aspek kebijakan dan implementasinya di daerah.
“Banyak penelitian yang dilakukan tentang KIA, belum menyentuh pada aspek pelaksanaan KIA di wilayah perkotaan, perdesaan dan wlayah 3T,” ucap Hari dalam rapat yang dilaksanakan di Puslitbang Adwil, Pemdes, dan Kependudukan BPP Kemendagri Jakarta (8/6).
Hari menambahkan, tujuan dilakukan penelitian tersebut adalah untuk menemukan masalah implementasi KIA di wilayah perkotaan, perdesaan, dan wilayah 3T. Kemudian menurut Hari penelitian juga bertujuan untuk menganalisis sejauh mana fungsi pendataan, perlindungan dan pelayanan publik dari pelaksanaan KIA di wilayah yang telah ditentukan tersebut.
Sebagai informasi, KIA tidak langsung diberlakukan ke seluruh wilayah Indonesia. Pada 2016, KIA diujicobakan pada 50 kabupaten/kota, kemudian berkembang menjadi 108 kabupaten/kota pada 2017, dan pada 2018 sudah lebih adri 150 kabupaten/kota sudah diujicobakan di seluruh Indonesia. Namun selama tiga tahun diujicobakan, kebijakan KIA sangat minim monitoring dan evaluasi.
Tetapi menurut David Yama Direktur Fasilitasi dan Pemanfaatan Data Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri, tidak benar jika KIA minim evaluasi. Menurutnya, pihaknya sudah melakukan sosialisasi di berbagai wilayah.
“Tahun ini kita sosialisasi KIA di 40 kabupaten/kota. KIA sama pentingnya dengan KTP el. Karena bagian dari kewajiban negara memenuhi hak sipil dan konstitusional warga negara. Adanya KIA juga merepresentasikan, negara hadir dalam melayani warga,” tuturnya.
Menurut Wahyudi Narasumber dalam acara tersebut mengatakan, kebijakan KIA harus dilihat dari sisi ekologinya. “Apa manfaat dari adanya KIA ini. Kemudian bagaimana KIA bisa memberikan hak kepada anak-anak untuk mengakses pelayanan publik,” katanya.
Wahyudi juga menyarankan agar sosialisasi terkait kewajiban KIA tidak sekadar perintah dari Mendagri. Tetapi langsung diperintah oleh Presiden. Alasannya, Perintah Mendagri hanya bersifat sektoral. Dan sering menimbulkan persepsi berbeda dari Kementerian/Lembaga lainnya.
“Tentu ini tugas Ditjen Dukcapil agar Presiden mau memberikan instruksi kewajiban KIA di daerah, misalnya kewajiban daerah mengalokasikan dana untuk KIA dan sebagainya,” terangnya. (MSR)