News

BPP Akan Kaji Masalah SAP Akrual di Beberapa Daerah

JAKARTA – Bidang Keuangan Daerah Pusat Litbang Pembangunan dan Keuangan Daerah kini tengah fokus mengkaji beberapa masalah SAP berbasis akrual di beberapa daerah. Untuk menguatkan hasil risetnya itu, Bidang yang dipimpin oleh Mercy Pasande itu menggelar FGD (Focused Group Discussion) Kajian Strategis Penerapan SAP (Standar Akuntansi Pemerintahan) berbasis akrual di daerah pada Rabu (12/4) di Aula BPP Kemendagri.

Acara ini dihadiri oleh beberapa narasumber dari Universitas Indonesia, Dedi Nuriawan dan dari BPKAD (Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah) DKI Jakarta Syaefulloh yang membahas terkait bagaimana SAP berbasis akrual di DKI, dan bagaimana seharusnya penelitian ini berjalan dengan baik.

Tidak hanya itu, para peserta juga terdiri dari beberapa Pemda seperti Jawa Tengah, yang akan mendengarkan paparan narasumber bagaimana kunci sukses penerapan SAP berbasis Akrual bisa berjalan di daerahnya.

“Kunci sukses peningkatan akuntabilitas pengelolaan keuangan dan aset di DKI Jakarta, kita melalui pengembangan sistem informasi keuangan terintegrasi. Setidaknya ada 3 kunci sukses kami,” papar Syaefulloh.

Ketiga itu, lanjutnya, yakni Regulasi dan Kebijakan, SDM (Sumber Daya Manusia), dan Sistem Informasi Terintegrasi. Di Pemda DKI sudah tersedia SOP yang memadai dan ketersediaan regulasi dan kebijakan pengelolaan keuangan yang memadai. Selain itu, SDM pun didukung penuh oleh pemerintah setempat. “Kami punya 1.800 akuntan, dan 1.400 pegawai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang kami diklatkan kembali. Kami juga mengubah posisi bendahara dengan yang muda-muda, jadi sekarang ada 750 bendahara yang setiap jam 3 sore selalu closing untuk laporan,” paparnya.

Seluruh sistem keluar masuk anggaran Pemda DKI hampir mayoritas sekang non tunai, baik itu untuk belanja langsung maupun tak langsung. “Sekarang kita kalau rapat lembur, beli makanan harus transfer, gaji pasukan orange juga sekarang transfer. Tidak bisa cash, takutnya ‘mampir’ kemana-mana. Dengan sistem non tunai juga sebenarnya bisa mengendalikan alur keluar masuknya uang, jadi tidak ada lagi SPJ (Surat Pertanggung Jawaban) yang terlambat,” jelasnya.

SAP di DKI Jakarta memang sudah dinilai cukup baik karena dianggap sebagai kota besar dan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) yang besar, lalu bagaimana di daerah lain yang tertinggal dan APBD kecil? Mercy Pasande dan tim berencana untuk meneliti beberapa daerah yang belum menerapkan SAP berbasis akrual secara tepat dan berguna seperti DKI Jakarta. Sebelum melakukan penelitian lebih dalam, ia juga menghadirkan Dedi Nuriawan, Akademisi UI untuk menjelaskan bagaimana seharusnya penelitian ini menjadi landasan kebijakan Kemendagri.

“Kebanyakan dari permasalahan di beberapa daerah adalah, adanya perubahan zaman yang begitu cepat namun beberapa Pemda tidak mampu mengikuti zaman, lalu data yang di luar standar aturan, keterbatasan SDM, dan lain-lain. Maka dari sini perlu dipertanyakan jenis penelitian apa yang akan digunakan,” jelas Dedi

Metedologi ini penting ditentukan agar menghasilkan penelitian yang tidak sekadar laporan ke Menteri saja. “Kalau penelitian positifistik, tinggal mengukur saja indikasi penyebab daerah tidak melakukan SAP berbasis akrual, sebaiknya saya sarankan menggunakan penelitian kontruksivistik dan kritis, jangan hanya mencari faktor secara kuantitas, itu hanya sebagai bahan refleksi saja. Misal ada 12 faktor, lalu diwawancarai ya atau tidak. Jangan pula metedologinya dicampur (kuantitas dan kualitas), nanti hasilnya tidak mendalam,” sarannya.

Tidak hanya itu, Dedi juga menyarankan BPP Kemendagri yang mau melakukan kajian lebih mendalam bisa datang ke UI untuk belajar akutansi lebih dalam. “Silakan jika ingin mengetahui dan belajar ilmu akutansi lebih dalam, UI terbuka lebar,” tutupnya. (IFR)

Join The Discussion