News

Benarkah Sawit Indonesia Merusak Lingkungan?

Dikutip dari CNBC Indonesia – Kelapa sawit Indonesia saat ini diklaim berbagai pihak sedang mengalami diskriminasi Uni Eropa. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah sawit merusak lingkungan. Namun, benarkah tuduhan tersebut?

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono menjelaskan, penggunaan lahan untuk kelapa sawit hanya sebesar 17 juta hektare, sedangkan penggunaan lahan di dunia untuk minyak nabati mencapai 278 juta hektare.

Menurut Joko, jumlah lahan tersebut itu tidak sebanding dengan klaim deforestasi untuk mengubah lahan hutan menjadi bukan hutan seperti yang ditujukan atas kelapa sawit Indonesia.

“Jadi 17 juta hektare versus 278 juta hektare itu tidak sebanding lho. Kalau dibilang sawit penyebab utama deforestrasi itu data lahannya yang dipakai cuma segitu,” ujar Joko dalam Seminar bertajuk “Pengembangan Industri Sawit untuk Kemandirian Energi” di Ayana Mid Plaza, Jakarta, Rabu (27/3/2019).

Sehingga, ia berharap agar Uni Eropa dan masyarakat memahami lebih dalam apa maksud dari kerusakan lingkungan tersebut. Sebab, menurut Joko, faktanya yang menggunakan lahan paling besar justru dari industri minyak nabati.

Komisi Eropa pada 13 Maret lalu meloloskan aturan pelaksanaan (delegated act) dari kebijakan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II). Dalam dokumen itu, Komisi Eropa menyimpulkan perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global.

Oleh karena itu, UE berencana menghapus secara bertahap pemakaian biofuel berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga mencapai 0% pada 2030.

Pemerintah RI mengecam keras RED II dan aturan turunannya yang dianggap mendiskriminasi kelapa sawit dari tanaman penghasil minyak nabati lainnya (kedelai, rape seed, bunga matahari) dalam memenuhi persyaratan sebagai bahan baku untuk bahan bakar nabati (biofuel) yang berkelanjutan di pasar Eropa.

Adapun, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan kekecewaan terhadap langkah UE yang mendiskriminasi produk kelapa sawit Indonesia. JK mengungkapkan langkah Eropa merupakan hal serius.

“Ini hal yang serius karena menyangkut setidak-tidaknya 15 juta rakyat yang bekerja langsung atau tidak langsung di bisnis ini,” katanya di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa (26/3/2019).

Dijelaskan JK, bisnis sumber daya alam sawit alias CPO memiliki nilai ekspor yang besar. Bahkan memberikan nilai tambah terhadap perekonomian.

JK bahkan mengancam bisa saja Indonesia menyetop pembelian produk Eropa termasuk pesawat pabrikan Airbus. JK mengingatkan, jika Eropa membuat aturan tersendiri, kenapa RI tidak bisa?

“Kalau kita tidak beli Airbus lagi, itu juga hak kita. Kalau Uni Eropa memiliki hak membuat aturan, kita juga punya hak bikin aturan,” katanya.

Dia menambahkan, apa yang dilakukan UE menyangkut masyarakat Indonesia, bukan hanya korporasi. Dan hal itu bukan hanya soal isu lingkungan saja.

“Cuma dengan alasan lingkungan, bahwa ini tidak ramah lingkungan, ingin menyetop atau mengurangi setidak-tidaknya agar tidak memakai untuk biofuel. Akhirnya tentu masyarakat akan bermasalah,” katanya.

“Pokoknya [kita akan] retaliasi, kita tidak mengatakan perang dagang, retaliasi saja. Artinya, kalau you larang 10, kita lawan 10 juga,” tegasnya.

Untuk itu, sebelum dilakukan, JK mengatakan Indonesia telah menyiapkan langkah di WTO. Di mana akan dilakukan proses negosiasi.

Ketua DPR RI Bambang Soesatyo juga mengungkapkan kekecewaannya atas sikap UE. Dia menilai tindakan tersebut tidak mencerminkan selayaknya mitra stategis yang membangun hubungan baik dan saling menguntungkan.

“Uni Eropa merupakan salah satu mitra strategis Indonesia. Namun sayangnya proses adopsi legislasi RED II dan aturan turunannya didasarkan pada analisis ilmiah yang cacat, mengabaikan kritik yang datang dari internal Uni Eropa dan lembaga independen serta mengabaikan concern dan data-data yang disampaikan oleh negara-negara produsen kelapa sawit,” katanya.

Join The Discussion