SLEMAN – Paradigma research atau riset secara umum yang selama ini diketahui pelaku industri kreatif perlu dikoreksi kembali. Bagaimana menciptakan riset yang banyak kegalauan namun juga menimbulkan antusias.
Perbincangan seputar riset merupakan bagian dari rangkaian acara Pinasthika Creativestival XVII yang berlangsung Kamis (3/11/2016) di Hartono Mall Lantai 3. Sebagai pembicara adalah Muhammad Faisal, Executive Director of Youth Laboratory Indonesia.
Muhammad Faisal mencoba membuka mata peserta bahwa ada metode khusus yang baiknya di terapkan untuk riset anak muda di Indonesia. Tips-tips ini bertentangan dengan metode yang telah dilakukan para periset sebelumnya. Hal ini tentu menciptakan banyak pertanyaan di benak khalayak.
Faisal menyatakan bahwa riset di Indonesia selama ini tidak cocok jika menerapkan metode barat. “Riset metode barat tidak tentu relevan disini. Kita itu negara unik,” ujarnya. Hal ini dikarenakan anak muda Indonesia cenderung mempunyai budaya lokal untuk diikuti,yang berbeda dari kebanyakan anak muda di dunia.
Sebagai contoh anak Jogja menjadikan tempat nongkrong sebagai identitas, sedangkan anak Garut menggunakan tempat atau wilayah mereka tinggal sebagai identitas. “Kita tidak punya national culture,” tambah Faisal.
Beberapa tips lalu diajukan untuk menjawab cara tepat resit di Indonesia. Salah satunya ialah dengan merasakan sendiri suasan di lapangan dan dekat dengan responden. “Ketika kita bisa merasakan apa yang dirasakan anak muda daerah tempat kita riset, maka target hasil yang ada dikepala kita akan blur,” kata Muhammad Faisal.
Maka dari itu menurutnya penting menekankan bahwa perlu jalinan emosional antara perisetr dan responden agar mengetahui isi kepala dari objek yang diriset. (IFR/Kedaulatan Rakyat)