JAKARTA — Penelitian dan pengembangan iptek tidak akan mencapai target yang diinginkan apabila sistem atau pola kerja yang dibangun tidak sesuai. Ini merupakan masalah mendasar yang perlu lebih dahulu dibenahi. Dengan sistem yang sesuai, institusi yang ada bisa dioptimalkan. Pembentukan organisasi baru bukan pilihan yang tepat karena akan memerlukan waktu lama dan akan menghentikan riset yang ada.
Demikian benang merah pendapat Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro, Kepala Dewan Riset Nasional (DRN) Bambang Setiadi, serta Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto, Sabtu (10/3), terkait rencana penataan kelembagaan riset nasional dan pembentukan Badan Riset Nasional (BRN) yang digagas Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Apabila nanti dibentuk BRN yang akan menyatukan lembaga riset di kementerian dan lembaga, menurut Satryo, hal itu tidak dapat menggabungkan AIPI dalam badan tersebut. Ini karena AIPI dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1990 yang menyatakan AIPI sebagai lembaga independen, non-pemerintah, dan bukan lembaga riset. Tugasnya memberi masukan dan pertimbangan kepada pemerintah dan pihak mana pun dalam pemanfaatan iptek.
”Jadi, AIPI di luar sistem, tidak mungkin masuk dalam BRN yang akan dibentuk berdasarkan perpres (peraturan presiden),” katanya. Dalam hal ini, AIPI dapat memberi masukan tentang arah pengembangan iptek di Indonesia. Hal ini tertuang dalam buku tentang Science 45 yang diterbitkannya, yang berisi hal-hal yang harus diteliti tahun 2045.
Satryo mengatakan, membentuk lembaga baru butuh proses lama. ”Lebih baik yang ada sekarang ditingkatkan perannya dan dipertegas pembagian tugasnya,” lanjutnya.
Kurang diberdayakan
Hal senada dikemukakan Unggul yang melihat DRN dan AIPI masih kurang diberdayakan. Dia mengatakan, AIPI karena merupakan lembaga independen dapat mendukung pengembangan iptek untuk kepentingan negara atau bangsa. Hal yang sama dilakukan National Academy of Science di Amerika Serikat yang melakukan telaah tentang perkembangan tren iptek dan memberi masukan kepada presiden.
Menurut Bambang, rencana pembentukan BRN di luar yang selama ini diwacanakan. Beberapa waktu lalu, Forum Profesor Riset Nasional mengajukan usulan kepada Megawati Soekarnoputri tentang perluasan peran DRN menjadi Dewan Riset dan Inovasi Nasional.
”Pada masa pemerintahan BJ Habibie, DRN pernah dinaikkan statusnya dari di bawah Menristek menjadi di bawah Presiden. Namun kini kembali di bawah Menristek dan Dikti,” katanya.
Menurut Satryo yang perlu lebih dulu dibenahi adalah sistem keuangan yang berlaku karena belum cocok untuk kegiatan penelitian iptek. Saat ini, setiap institusi riset harus mengajukan usulan program kegiatan sesuai tugas pokok dan fungsinya. Pelaksanaan program itu hanya setahun. Padahal, penelitian tidak mungkin setahun, tetapi bisa puluhan tahun untuk menghasilkan inovasi yang bernilai signifikan dan komersial.
”Penelitian dikategorikan sebagai kegiatan belanja barang, belanja pegawai, dan biaya perjalanan. Ini sangat kaku. Mata anggaran kegiatan ini harus ditiadakan, diganti dengan sistem block grant,” kata Satryo.
Anggaran yang dikeluarkan harus melalui sistem hibah ini mengacu pada agenda nasional yang dicanangkan pemerintah. Ia mengambil contoh, apabila pencanangan pemerintah untuk menurunkan emisi karbon hingga 29 persen pada tahun 2030, semua lembaga terkait, misalnya di sektor transportasi, kehutanan, dan industri, mengajukan isu atau program riset yang akan ditangani untuk mencapai target itu serta anggaran yang diperlukan.
”Untuk mengkaji usulan itu, Presiden harus membentuk tim ad hoc sebagai evaluator. Tim ini terdiri dari tokoh ilmuwan nasional dan internasional yang independen. Sebetulnya DRN dapat berperan melakukan hal ini karena tidak mengeksekusi program. Hanya memberi masukan kepada Presiden,” tutur Satryo.
Pelaksanaan penelitian juga harus multidisiplin ilmu. Saat ini, sistem keuangan tidak mungkin multitahun dan multidisiplin.
Menurut Unggul, tumpang tindih dan pengulangan kegiatan riset selama ini merupakan kesalahan manajemen riset dalam lingkup nasional. Untuk membenahinya, harus dilihat dan diatur lagi tugas pokok dan fungsi setiap lembaga riset, termasuk yang berada di kementerian.
AIPI di luar sistem, tidak mungkin masuk dalam BRN yang akan dibentuk berdasarkan perpres. (KOMPAS)