Jakarta, – Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat ini tengah berkonflik dengan DPRD DKI. Perseteruan yang terjadi antara mereka berkaitan dengan penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) DKI 2015. Lantas, bagaimana prosedur penyusunan yang benar?
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri Dodi Riatmadji mengatakan, APBD yang diajukan tiap provinsi harus hasil kesepakatan dengan DPRD. “Tugas kami kan mengevaluasi. Pertama mengevaluasi format APBD yang merupakan hasil persetujuan dengan DPRD,” ujar Dodi, kepada Kompas.com, Senin (2/3/2015).
Awalnya, kata Dodi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah lebih dulu mengirimkan draf APBD kepada Kementerian Dalam Negeri. Draf tersebut pun dikembalikan dengan alasan tidak sesuai format karena bukan hasil persetujuan dengan DPRD DKI. Hal tersebut berpedoman kepada Undang- Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dodi mengatakan, Mendagri mengevaluasi APBD yang dokumennya sudah lengkap dan sesuai aturan. Selain itu, draf harus merupakan persetujuan bersama DPRD dan kepala daerah.
Dodi mengatakan, Kemendagri telah membimbing Pemprov DKI untuk memenuhi persyaratan draf APBD-nya. Sampai draf tersebut siap dan dikembalikan lagi pada Kemendagri.
Saat ini, Kemendagri menganggap draf APBD yang ada di Kemendagri sudah kesepakatan dengan DPRD DKI. Sehingga, sudah dapat diproses untuk evaluasi.
Kemudian mengenai prosedur penyusunan APBD ini, Pemprov DKI atau DPRD DKI yang benar? “Kalau itu kami bukan posisi yang bisa menyatakan itu,” ujar Dodi.
Namun, secara garis besar, Dodi mengatakan, proses penyusunan APBD yang dilakukan tiap daerah harus mengikuti pedoman. Tiap tahun, Kemendagri telah mengeluarkan pedoman penyusunan APBD untuk digunakan sebagai acuan tiap provinsi.
Dodi mengatakan, jika pemerintah daerah memilih menggunakan e-budgeting untuk menyusun APBD, diperbolehkan asal telah ada pedomannya. “Kalau suatu saat nanti memang ingin gunakan e-budgeting, harus ada pedomannya,” ujar Dodi.
Dodi ikut mengomentari soal adanya anggaran siluman. Menurut dia, pada dasarnya, Kemendagri juga akan melakukan evaluasi terhadap anggaran yang ada pada draf atau raperda. Akan tetapi, evaluasi yang dilakukan bukan proses pengusulannya, melainkan belanja untuk publik atau perangkat.
Dodi memberi contoh APBD Aceh yang dievaluasi anggaran bansosnya karena dinilai terlalu besar. Untuk anggaran siluman pada APBD DKI yang ditemukan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, yaitu soal UPS, Dodi mengatakan, hal itu termasuk masalah pengusulan. Persoalan pengusulan anggaran, kata Dodi, masuk pada pembahasan pemerintah daerah dengan DPRD sendiri.
“Soal UPS, apakah yang dipersoalkan itu nilainya atau usulannya. Kita berikan ruang politik internal DKI untuk bahas itu,” ujar Dodi.
Terlepas dari kisruh antara eksekutif dan legislatif ini, Dodi mengatakan, Kemendagri tidak terpengaruh dan tetap memproses APBD DKI.
Ahok vs DPRD
Beberapa waktu lalu, sebanyak 106 anggota DPRD DKI secara bulat mendukung penuh pengajuan hak angket kepada Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama dalam sidang paripurna pengajuan hak angket. Adapun alasan pengajuan hak angket terkait dengan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD DKI 2015. Basuki dianggap telah melakukan pelanggaran serius karena tidak mengirimkan Raperda APBD DKI 2015 yang menjadi usulan bersama anggota DPRD dan Pemprov DKI.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) juga melaporkan dugaan penyalahgunaan anggaran di anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) DKI ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan itu diduga menyangkut anggota DPRD yang berupaya memasukkan anggaran “siluman” ke dalam APBD.
Belum diketahui pasti laporan Basuki, apakah terkait temuan penyalahgunaan APBD 2014 atau upaya penggelembungan anggaran di APBD 2015.
Sumber : www. kompas.com