Dikutip dari tribunnews.com, Indonesia memiliki peneliti hebat di berbagai bidang. Mereka bekerja di laboratoriumnya siang malam demi menemukan teknologi dan ilmu pengetahuan yang berguna bagi masyarakat.
Sayangnya, penelitian mereka banyak yang hanya sampai lab, tidak diproduksi sebagai sebuah produk.
Selasa (2/7/2019), beberapa peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fisika, memaparkan hasil penelitiannya di gedung 442 Kompleks Puspiptek, Setu, Tangerang Selatan (Tangsel).
Rike Yudiyanti, Kepala Pusat Penelitian Fisika LIPI, memaparkan singkat kegiatan penelitian yang sedang dilakukan di instansinya.
Beberapa penelitian di bidang energi kelistrikan adalah fuel cell, baterai litium, dan turbin angin.
“Fuel cell merupakan piranti pembangkit listrik yang terbarukan dan ramah lingkungan karena tidak bising dan produk sampingnya hanya air atau uap air,” ujar Rike.
Fuel cell memiliki keunggulan dengan efisiensinya yang tinggi 60%, fleksibel, portabel, kerapatan daya yang besar, dan memerlukan waktu start-up relatif lebih cepat.
Pada kegiatan laser, Pusat penelitian Fisika LIPI menghadirkan teknologi alternatif untuk mendeteksi bahan berbahaya dan beracun, yaitu teknologi laser spectroscopy, photoluminescence dan raman spectroscopy.
Ketiga teknik tersebut menggunakan laser sebagai sumber deteksinya dan tidak memerlukan sampel uji, sehingga pengujian bisa cepat.
“Laser induced plasma spectroscopy dapat mendeteksi keberadaan unsur berbahaya dan beracun seperti timbal, arsenik, kadmium pada konsentrasi rendah. Teknik photoluminescence dapat mendeteksi senyawa berbahaya yang dapat berpendar seperti pestisida. Sementara raman spectroscopy mendeteksi molekul-molekul yang terkandung dalam bahan uji itu berbahaya dan beracun,” paparnya.
Rieke juga memaparkan hasil penelitian lain yang terkait dengan analisa kebencanaan, baterai, turbin angin dan yang lainnya.
Namun penelitian itu belum sampai pada produksi, atau bahkan perekayasaan, satu step setelah penelitian untuk pengujiannya.
Mantan Kepala Pusat Penelitian Fisika LIPI, Bambang Widiyatmoko, mengatakan, proses dari hasil penelitian untuk direkayasa terbentur birokrasi.
“Penelitian itu hasilnya ilmu pengetahuan. Setelah dipublish ya sudah. Untuk bisa menjadi suatu produk, perlu perekayasaan. Penelitian dan perekayasaan itu kaya kakak adik, tapi terbentur birokrasi,” ujar Bambang.
Terlebih, kaitan penelitian dengan industri yang seharusnya saling menjalin simbiosis mutualisme, tapi justru yang terjadi adalah sebaliknya.
Bambang memaparkan, penelitian penting dan keren yang berhasil diwujudkan para peneliti tidak menjadi sebuah produk karena industri tidak menyambutnya.
“Saya mengakui, paling tidak iklim industri di kita belum menjadikan penelitian sebagai menjadi satu keharusan untuk meningkatkan kualitas produksinya atau menciptakan inovasi-inovasi baru supaya bersaing,” ujar peneliti laser itu.