JAKARTA – Minimnya inovasi seperti yang dikeluhkan Presiden Joko Widodo bukan semata karena Indonesia tidak punya peneliti handal. Kurangnya perhatian kepada para peneliti serta iklim riset yang belum bagus membuat banyak penemuan berakhir di rak Perpustakaan.
Plt Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Bambang Subiyanto menuturkan, salah satu penyebabnya adalah royalti untuk para peneliti yang berkarir di kementerian dan perguruan tinggi negeri. Peraturan Menteri Keuangan 72/PMK.02/2015 tentang Imbalan yang Berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Paten kepada Inventor yang menjadi payung hukum ternyata kurang menguntungkan buat para peneliti.
Dalam peraturan tersebut, peneliti yang telah menghasilkan nilai royalti paten hingga Rp 100 juta akan diberi imbalan 40 persen. Bila nilainya Rp 100 juta–Rp 500 juta, imbalannya 30 persen. Sedangkan 20 persen bila nilainya Rp 500 juta–Rp 1 miliar. Kemudian, untuk nilai royalti paten lebih dari Rp 1 miliar, imbalannya 10 persen.
Dibandingkan dengan negara lain, pembagian royalti itu relatif kecil. Namun, itu bukan masalah utama. Yang paling merepotkan adalah royalti itu harus ngendon di kas negara. ”Imbalan tersebut diberikan bila peneliti tersebut diundang menjadi pemakalah atau narasumber. Tidak bisa diberikan secara langsung,” ungkap Bambang. ”Beda dengan di luar negeri. Saya dapat Rp 1 miliar (imbalan) 60 persen, Rp 600 juta dikasihkan ke saya,” lanjutnya.
Selain soal royalti, para peneliti kadang dihadapkan pada pilihan yang dilematis saat berkolaborasi mengembangkan penelitian dengan swasta. Peneliti tetap harus menjadi PNS dan diatur dengan peraturan PNS yang ketat.
”Kalau punya teknologi, saya bisa bekerja sama dengan swasta itu sampai selesai, sampai jadi besar bisa kembali lagi (jadi PNS). Di Indonesia tidak bisa itu, disuruh memilih,” tegas peraih doktor di bidang wood science and technology dari Universitas Kyoto, Jepang.
Itu dari sisi peneliti, dari sisi dunia usaha, juga tidak ada dorongan bagi mereka untuk mengomersialkan inovasi. Padahal, memproduksi secara masal satu inovasi di satu badan usaha pasti menanggung risiko kegagalan.
Kondisi itu berbeda dengan di luar negeri. Singapura misalnya. Di sana ada pengurangan pajak untuk perusahaan yang bekerja sama dalam satu penelitian. Dana pengurangan pajak tersebut bisa dimanfaatkan untuk memperkuat penelitian. ”Perlu juga dana CSR dari perusahaan digunakan untuk penelitian. Bukan seperti sekarang ini, hanya untuk membangun fasilitas publik misalnya,” terang dia.
Bambang menyatakan, perlu ada jembatan yang mempertemukan peneliti dan dunia swasta. LIPI memprakarsai kegiatan bertajuk Indonesia Science Expo pada akhir Oktober untuk mewadahi itu. ”Dalam kegiatan ini, kami ingin imbal balik. Kami presentasi ini dan mereka memberikan masukan seperti apa,” jelas dia.
Sementara itu, Ketua Dewan Riset Nasional Bambang Setiadi menuturkan, negara yang makmur saat ini adalah negara yang bisa memanfaatkan inovasi teknologi dengan baik. Bukan hanya karena kaya dengan sumber daya alam. Inovasi dari dalam negeri dipakai sendiri secara masal dan mendapatkan dukungan dari pemerintah. ”Contohnya India yang pejabatnya pakai mobil buatan dalam negeri. Meski sampai ada yang bilang seluruh bagian dari mobilnya bunyi. Tapi, dari situ mereka makmur sekarang,” ungkap dia.
Bambang Setiadi mengungkapkan, inovasi akan terlihat bila sudah dikomersialisasikan. ”Karena itu, bila ada inovasi yang bagus, jangan sampai dihambat dengan peraturan. Intinya, percayalah, negara lain tidak akan takut banyak buku laporan. Tapi, takut mereka kalau kita gunakan produksi sendiri,” tegas dia.
Seperti diberitakan, Presiden Joko Widodo menyatakan senang dengan banyaknya inovasi yang muncul, termasuk mobil listrik. Tapi, permasalahannya, ada banyak regulasi yang akhirnya jadi penghambat. Dia pernah menghitung, ada 42 ribu regulasi mulai undang-undang sampai perwali. Berbagai regulasi itulah yang mengakibatkan Indonesia tak bisa bergerak cepat mengejar kemajuan inovasi.
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Anggawira mengakui bahwa saat ini memang ada ”gap” antara penelitian-paten yang dibuat peneliti dan kebutuhan industri. ”Nggak ada link and match-nya. Itu yang membuat sedikit sekali penelitian yang bisa dikomersialkan atau terserap industri,” ujar Anggawira.
Selain itu, lanjut Anggawira, kebutuhan research and development di Indonesia belum dipandang sebagai sesuatu yang penting. ”Memang seperti diketahui, biaya riset di Indonesia kecil sekali. Jika ingin serius, alokasi biaya untuk riset harus lebih besar dan harus fokus saat ingin mengembangkan suatu bidang,” tegasnya. (IFR/Jawapos.com)