Jakarta- Badan Strategi Kebijkan Dalam Negeri (BSKDN) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membangun instrumen penialain kota bersih sebagi bagian dari upaya pemerintah meningkatan pengelolaan lingkungan di daerah. Upaya tersebut dilakukan dengan menjaring masukan dari para pakar.
Hal itu disampaikan Plh. Kepala Pusat Strategi Kebijakan Pembangunan, Keuangan Daerah dan Desa (Pustrajakan PKDD) BSKDN Abas Supriyadi saat memimpin Rapat Penyusunan Laporan Akhir “Penilaian Kriteria dan Pembobotan Variabel Kota Bersih” di Aula BSKDN pada Kamis, 2 November 2023.
Dalam arahannya, Abas menjelaskan, sejauh ini penilaian kota bersih terdiri dari 10 variabel dan 43 indikator. Sepuluh variabel tersebut di antaranya lingkungan air, udara dan kualitas lahan, pengelolaan sampah, sosial, sarana dan prasarana, pertumbuhan ekonomi, keuangan daerah, partisipasi masyarakat, sumber daya manusia, sistem tata kelola serta kebijakan. Sesuai dengan tugas dan fungsi yang diemban BSKDN, Abas berharap variabel dan indikator dalam penilaian kota bersih tersebut dapat menjadi sebuah rekomendasi kebijakan. “Tugas dan fungsi BSKDN di mana salah satunya melakukan perumusan strategi kebijakan,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) masyarakat berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kewajiban konstitusional untuk menyediakan berbagai layanan yang bertujuan untuk menjaga lingkungan hidup. Agar penilaian kota bersih semakin optimal diperlukan saran dari berbagai pihak termasuk para pakar terkait variabel dan indikator.
“Jika masih dirasakan perlu adanya penambahan (variabel dan indikator) mohon kesediaannya memberikan masukan atau koreksi hasil kajian ini,” jelas Abas.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Indonesian Environmental Scientists Association (IESA) Lina Tri Mugi Astuti mengatakan, ada beberapa hal yang perlu ditekankan dalam penilaian kota bersih. Hal itu di antaranya mengenai ketersediaan fasilitas Mandi, Cuci, Kakus (MCK) di ruang publik. Dalam penilaian kota bersih definisi ruang publik yang disepakati meliputi tempat wisata, pasar tradisional, terminal, dan ruang olahraga atau taman wisata. “Kalau kita bicara ketersediaan berarti memang harus ada atau tidak ada, dan berfungsi atau tidak,” jelasnya.
Lina mengatakan, kendati belum ada regulasi yang secara khusus mengatur keberadaan MCK, tapi dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Dalam aturan itu masyarakat perlu terus diedukasi untuk hidup sehat dan bersih. Hal ini dengan membiasakan cuci tangan pakai sabun dan air bersih, tidak buang air besar sembarangan, hingga pengelolaan sampah dengan baik serta menjaga kualitas air.
“Akan diperkuat dengan Perda (Peraturan Daerah) di masing-masing daerah. Artinya kalau di daerah tersebut memang sudah memiliki perda itu maka mereka pasti akan membangun dan itu pasti akan ada fasilitasnya,” pungkasnya.