Dikutip dari buletindewata.com, terkait penyusunan rencana induk (Master Plan) kargo udara transshipment di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Kuta-Badung, Bali, Rabu (11/12).
Diketahui, pada tahun lalu Badan Litbang Perhubungan telah mengadakan diskusi terkait identifikasi awal pengembangan kargo transshipment di Bali, dan menghasilkan desk study yang berkembang menjadi rencana induk pada tahun ini.
Kepala Badan Litbang (Balitbang) Perhubungan, Sugihardjo, menyampaikan bahwa FGD transshipment tahun lalu, hub kargo udara tidak hanya melayani ekspor dan impor, tetapi juga transshipment. Berbeda dengan impor yang dikenakan clearance untuk pengeluaran dan pemeriksaan, kargo transshipment hanya singgah di bandara, untuk kemudian diberangkatkan lagi.
Dalam bisnis transshipment, seluruh kargo dari berbagai negara asal akan singgah atau transit di suatu bandara dan menjalani serangkaian kegiatan yang memberikan nilai tambah (value-added) seperti collecting, sorting, labelling, dan packaging yang disesuaikan dengan spesifikasi tertentu dari setiap negara tujuan kargo tersebut, sehingga proses pengiriman akan berjalan lebih efisien dan dampak economic of scale dapat tercapai.
Hub cargo transshipment diharapkan berkembang dengan skala dunia, hal tersebut ditegaskan Kepala Balitbang Perhubungan. “Sesuai dengan amanat dari Cetak Biru Sistem Logistik Nasional (Sislognas) dan Rencana Strategis Kementerian Perhubungan, perlu adanya pengembangan hub kargo udara di kawasan timur Indonesia. Pengembangan hub kargo udara diharapkan berskala dunia (world-class) dan berdaya saing dengan negara lainnya,” ujar Sugihardjo.
Pada kajian di tahun 2018, desk study yang dihasilkan telah membahas konsep bisnis transshipment, analisis permintaan, pasokan tahap awal, kebutuhan sumber daya manusia (SDM) di bidang logistik transshipment, serta analisis keekonomian tahap awal. Dari hasil kajian, Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali memiliki potensi yang sangat besar untuk menangani kargo udara.
“Di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai, terdapat penerbangan dari Oseania ke Asia Timur dan Timur Tengah. Selain itu, waktu tempuh jika transit di Denpasar lebih cepat 20-40 menit dibandingkan jika selama ini lewat Bandara Changi, Singapura,” imbuh Sugihardjo.
Dijelaskan, pada kajian tahun 2019, Balitbang Perhubungan berfokus pada 4 hal utama yang akan dilakukan, “Rencana induk terdiri dari empat bagian besar yaitu analisis permintaan, analisis fasilitas pergudangan, rencana zonasi, serta analisis keekonomian,” terangnya.
Proyeksi permintaan akan menjadi acuan untuk perancangan gudang kargo. Disamping itu, mengingat aktivitas di bandara tidak hanya terkait kargo, maka perlu disusun rencana zonasi dalam konteks yang lebih makro. Pada tahapan analisis ekonomi, pemerintah akan mempertimbangkan terjaminnya pertumbuhan profit yang diperoleh oleh seluruh stakeholder yang terlibat dalam bisnis kargo transshipment ini.
Rencana induk kargo udara transshipment di Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai yang dihasilkan dalam kegiatan ini dapat digunakan oleh operator bandar udara dan dapat menjadi contoh pengembangan fasilitas kargo transshipment di bandar udara lainnya di Indonesia. Kedepannya perlu ada regulasi terkait pelaksanaan pelayanan transshipment yang berasal dari kolaborasi antara Pemerintah Pusat (Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan dalam hal ini Bea Cukai, Kementerian Perdagangan) dan Pemerintah Daerah.