News

Apakah Indonesia Perlu Badan Riset Nasional?

Dikutip dari mediaindonesia.com, TAHUN lalu Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Menristek-Dikti) Mohamad Nasir mengatakan bahwa publikasi ilmiah Indonesia sampai 26 oktober 2018 sudah mencapai 22.222 tulisan, menempati peringkat ke-2 di Asia Tenggara sesudah Malaysia.

Di 2016 kita menempati peringkat ke-4 sesudah Malaysia, Singapura, dan Thailand. Pada 2017 kita berhasil meraih peringkat ke-3 dengan melewati Thailand. Di 2019 Menristek-Dikti menargetkan Indonesia melewati Malaysia dalam hal jumlah publikasi ilmiah.

Pencapaian di atas sangat menggembirakan tetapi masih perlu terus ditingkatkan. Pada 2016 Singapura dengan penduduk 5,9 juta mampu menghasilkan 20.985 publikasi ilmiah. Malaysia dengan 32,5 juta penduduk menghasilkan 29.379 publikasi ilmiah. AS dengan penduduk 323 juta  menghasilkan 640.251 publikasi ilmiah. Indonesia dengan 269 juta penduduk seharusnya mampu menghasilkan 250 ribu publikasi ilmiah per tahunnya. Angka 250 ribu ini ialah angka yang cukup ideal menurut Ketua LIPI Dr Laksana Tri Handoko.

Indonesia memiliki lebih dari 500 lembaga penelitian. Lembaga-lembaga ini tersebar di berbagai kementerian, Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK), seperti BPPT, LIPI, Lapan, lembaga penelitian di Perguruan Tinggi, serta berbagai badan penelitian dan pengembangan (Balitbang) di tingkat kabupaten atau provinsi dan berbagai lembaga penelitian swasta.

Sayangnya, lembaga-lembaga ini tidak terkoordinasi dengan baik sehingga terjadilah tumpang-tindih. Beberapa lembaga mengerjakan topik riset yang sama. Tidak ada target bersama secara nasional.

Pada 2018 pemerintah menggelontorkan dana riset sebanyak Rp24,9 triliun (sekitar US$2 billion atau 2 B). Angka ini menunjukkan bahwa pemerintah sangat serius menangani pengembangan riset di Tanah Air. Memang secara nominal angka ini kecil jika dibandingkan dengan dana riset negara-negara maju. Namun, jangan lupa dana riset dari negara-negara maju tidak hanya berasal dari pemerintah, tetapi juga sebagian besar dari industri/bisnis.

Kita lihat Amerika Serikat mempunyai dana riset fantastis 511 B (2,74% dari GDP-Gross Domestic Product). Dana ini sebagian besar berasal dari industri/bisnis (62%). Pemerintahnya hanya kontribusi 25%. Tiongkok dengan 451 B (2,11% dari GDP), kontribusi pemerintahnya hanya 20% sisanya sebagian besar dari industri/bisnis (76%). Korea 79 B (4,23% dari GDP) dari pemerintah 23% dan industri/bisnis 75%.

Kemudian, di Asia Tenggara, Singapura dengan 10 B (2,16% dari GDP) pemerintah men-support 37% dan industri/bisnis 54%. Malaysia 10 B (1,3% dari GDP) dari pemerintah 38% dan dari industri/bisnis 53%, sedangkan Thailand 9 B (0,78% dari GDP) kontribusi pemerintah 15,5% dan industri/bisnis 75,5%.

Nah, GDP atau PDB (produk domestik bruto) Indonesia saat ini sudah tembus 1.000 B. Kalau 1%-nya digunakan untuk riset artinya perlu ada alokasi dana riset sekitar 10 B. Katakan pemerintah mendukung 20% atau sekitar 2 B seperti yang sudah diberikan selama ini. Maka, kita masih perlu 8 B (80%) yang harus diusahakan dari sektor industri/bisnis.

Dana sebesar ini sangat mungkin diperoleh asalkan ada koordinasi yang baik antara para pemangku kepentingan (lembaga riset dan badan usaha). Ada banyak perusahaan teknologi yang berkembang pesat di Indonesia yang hidupnya tergantung dari riset dan punya dana riset yang cukup besar, seperti Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, Blibli dsb.

Koordinasi
Pada waktu debat cawapres belum lama ini Bapak Ma’ruf Amin menyinggung tentang perlunya satu badan (Badan Riset Nasional) untuk mengoordinasi riset-riset nasional. Ini pemikiran yang baik. Ya, kita perlu suatu badan yang mampu mengoordinasi lembaga-lembaga riset yang tersebar diseluruh Indonesia.

Koordinasi ini penting untuk memberikan informasi yang akurat tentang teknologi apa saja yang dibutuhkan kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia. Tidak hanya itu, koordinasi ini juga akan memberikan analisis potensi daerah dan solusi berbagai masalah yang dihadapi daerah-daerah. Karena sifatnya terpusat, badan riset ini akan mampu mengelola dana riset secara lebih efisien dan lebih efektif.

Penganggaran dan pengalokasian dana riset akan jauh lebih mudah dan lebih terukur. Pertanggungjawaban pemakaian dana oleh lembaga riset dalam kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, penerapan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (P5-iptek) akan lebih mudah diawasi dan dikendalikan.

Dan yang tidak kalah pentingnya juga, lewat badan ini, lebih mudah pemerintah mengajak industri/bisnis untuk ikut mengembangkan riset tidak hanya sebagai pengguna, tetapi juga sebagai investor atau pelaksana penelitian melalui mekanisme public private partnership (PPP) atau Modal Ventura.

Saya membayangkan, yang perlu juga dikerjakan badan ini ialah menyusun kebijakan pembangunan riset iptek yang strategis, dinamis, dan berkesinambungan. Perlu dibuat rencana riset lima tahunan dalam beberapa periode dengan fokus pengembangan riset yang jelas dan mempunyai target nasional untuk 2030 ataupun 2045.

Katakan pada lima tahun pertama kita fokuskan pengembangan dan pemanfaatan riset pada bidang-bidang yang berkaitan dengan pertahanan,  agrikultur (tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan), kesehatan, energi, dan maritim yang saya singkat dengan PAKEM.

Hasil PAKEM ini dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi kita untuk  meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan daya saing bangsa. Periode berikutnya baru kita kembangkan riset-riset di bidang transportasi dan ilmu-ilmu dasar (fisika, kimia, biologi, matematika) serta kebudayaan. Riset-riset yang berkaitan dengan luar angkasa dan ilmu-ilmu baru kita lakukan pada periode berikutnya lagi.

Kebijakan yang dibuat harus memuat standar untuk tiap-tiap lembaga riset. Dalam  UU No 18/2002 pasal 12 tidak ada standar jelas untuk lembaga-lembaga riset ini. Tiap organisasi diberi kewenangan untuk menentukan sendiri standar, persyaratan, sertifikasi keahlian, dan kode etik profesi. Akibatnya kualitas beberapa lembaga riset perlu dipertanyakan.

Kebijakan lain yang perlu diperhatikan, kebijakan tentang kliring teknologi, audit teknologi, peneliti asing dan wajib simpan data primer dari hasil litbang. Lalu, pengaturan material transfer, mekanisme pembagian royalti dan penggunaan hasil riset untuk komersial.

Adanya badan yang mengoordinasi dan menyinergikan riset dan lembaga riset ini membantu pemerintah untuk lebih percaya diri menghadapi revolusi industri 4.0.

Pemerintah tidak perlu takut serbuan teknologi-teknologi, seperti artificial intelligence (robot), blockchain, analisis big data, drone, 3D printing, teknologi 5G, internet of things, nanosatelit, dsb.

Lewat badan ini pemerintah akan mampu mengelola dan memanfaatkan  teknologi-teknologi ini seoptimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam bidang implementasi teknologi, adanya badan koordinasi ini memudahkan pemerintah untuk melakukan pembinaan kelembagaan, SDM, dan jaringan P5-iptek yang selama ini mandek.

Pembinaan di sini ialah pembinaan tenaga-tenaga pendamping untuk implementasi teknologi bagi daerah-daerah di berbagai wilayah Indonesia. Implementasi, adopsi, dan adaptasi teknologi ini sangat penting untuk membantu daerah lebih siap menyongsong era society 5.0. Ayo bangkitlah riset Indonesia.

Penulis: Yohanes Surya Tenaga Ahli Kemenko Maritim

Join The Discussion