JAKARTA — Potensi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional belum diperhitungkan. Akibatnya, investasi untuk mendukung penguatan dan pengembangan riset, baik di perguruan tinggi maupun lembaga riset, masih minim. Investasi untuk mendukung penguatan dan pengembangan riset pun masih jauh dari kebutuhan untuk menghasilkan inovasi yang dapat meningkatkan daya saing bangsa. Hal itu mengemuka dalam diskusi yang membahas return on investment (ROI) untuk investasi sektor publik, terutama dalam pendidikan tinggi dan riset, di Jakarta, Selasa (6/6).
Diskusi ini digelar Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pembangunan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi bersama Knowledge Sector Initiative. Alan O’Connor, ahli ekonometrik dari lembaga riset Research Triangle Institute (RTI) International, mengatakan, perguruan tinggi semakin berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Potensinya dalam menghasilkan banyak riset harus dilihat dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. ”Investasi dalam riset di perguruan tinggi perlu dihitung dampaknya, seberapa besar memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Kebijakan untuk meningkatkan investasi dalam riset pun jadi memiliki bukti memang bermanfaat,” ujar Alan
Alan menyebutkan, dimensi ROI untuk melihat hasil investasi riset dalam meningkatkan pertumbuhan dan daya saing antara lain dengan menghitung dampaknya pada pengembangan dunia kerja dan produktivitas, kolaborasi industri-universitas, perusahaan start up dan industri yang muncul, serta layanan dan teknologi baru.
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati mengatakan, iptek di Indonesia belum dilirik untuk perkembangan ekonomi nasional. Padahal, iptek menjadi penting untuk melahirkan inovasi yang mendominasi di dalam negeri. ”Dari kajian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), sekitar 58 persen inovasi Indonesia didominasi dari negara lain. Padahal, kita ingin mewujudkan kemandirian bangsa berbasis iptek,” ujar Dimyati.
Anggaran riset
Menurut Dimyati, adanya formula penghitungan ROI riset di Indonesia bagi pertumbuhan ekonomi dirasa penting. Saat ini, anggaran riset masih 0,2 persen. Dalam dokumen Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) disebutkan, anggaran riset pada 2019 semestinya sudah 2 persen. ”Kita harus bisa membuat perhitungan untuk meyakinkan semua pihak soal pentingnya investasi riset. Seberapa persentase atau jumlah dana yang dibutuhkan supaya riset-riset di perguruan tinggi dan lembaga riset lainnya dapat menghasilkan inovasi yang dibutuhkan bangsa,” kata Dimyati.
Pendanaan riset pun masih mengandalkan pemerintah sekitar 75 persen, sisanya swasta. Insentif untuk sektor swasta yang mengembangkan riset dan penelitian juga belum ada. Teguh Rahardjo dari Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia mengatakan, penganggaran riset di Indonesia masih menjadi tantangan, dari mendapatkan sumber pendanaan dan keberlanjutan pendanaan. Padahal, untuk melaksanakan riset yang sampai mampu diproduksi membutuhkan waktu dan dukungan infrastruktur riset yang unggul. Teguh menyoroti anggaran riset yang tersebar di lembaga penelitian dan pengembangan di banyak kementerian/lembaga yang tidak mudah untuk saling diakses, bahkan saling kompetitif. Akibatnya, banyak riset yang tumpang tindih, pengulangan, dan tidak ada evaluasi.
Wakil Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, investasi yang dilakukan harus dipastikan menguntungkan siapa. Karena itu, perlu diidentifikasi semua pemangku kepentingan perguruan tinggi, mulai dari pemerintah, mahasiswa, perguruan tinggi, hingga industri dengan melihat apa yang diharapkan dari setiap output (keluaran), outcome (hasil), dan kontribusi pada pembangunan nasional dan daya saing. ”Tantangannya sekarang, kita perlu mempelajari cara untuk mengevaluasi pencapaian sehingga kita tahu ROI-nya,” ujar Satryo. Yanuar Nugroho dari Akademi Ilmuwan Muda Indonesia dan Kantor Sekretariat Presiden mengatakan, pemerintah harus didorong untuk memprioritaskan anggaran riset. (IFR/Harian Kompas)