SURABAYA – Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menganggarkan rata-rata sekitar Rp10 miliar per tahun untuk pengembangan penelitian tanaman atau bahan baku obat-obatan.
Direktur Pengembangan Teknologi lndustri, Kemenristekdikti, Hotmatua Daulay mengatakan untuk anggaran 2018 hingga semester I tahun ini sudah terserap hingga 40% an dari total anggaran.
“Tahun sudah banyak perguruan tinggi yang mengajukan proposal untuk penelitian-penelitian seperti Unair, Undip, UGM dan UI. Mudah-mudahan anggarannya segera terserap,” katanya seusai peresmian Laboratorium Kultur Jaringan di Universitas Surabaya, Rabu (18/7/2018).
Dia mengatakan pemerintah sendiri sesuai dengan Perpres No.6 Tahun 2016 tentang percepatan kemandirian obat, telah menyiapkan sejumlah insentif bagi instansi yang mengembangkan riset.
“Kita sepakat untuk mempercepat riset-riset yang ada agar tidak berhenti di tengah-tengah,” imbuhnya.
Adapun insentif yang disiapkan pemerintah yakni berupa pendanaan pengembangan dan riset serta insentif kebijakan. Saat ini Kemenristek Dikti juga sedang bekerja samadeengan BPOM dalam upaya melakukan hilirisasi riset farmasi menjadi industri.
“Mudah-mudahan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional kita akan MoU dengan BPOM untuk pendampingan laboratorium-labiratorium di Indonesia,” imbuhnya.
Diketahui hingga saat ini industri farmasi masih bergantung penuh dengan bahan baku impor hingga mencapai 90%. Kebanyakan bahan baku diperoleh dari China, India dan Eropa.
Salah satu bentuk upaya kemandirian obat, Universitas Surabaya (Ubaya) dan Hanbang Bio – Kyung Hee University Korea Selatan bekerja sama membangun laboratorium bersama dengan PT Kalbe Farma Tbk yang merupakan pihak industri yang akan menyerap produksi hasil penelitian.
Laboratorium Kultur Jaringan tersebut nantinya dikembangkan untuk produk tanaman obat jenis umbi-umbian seperti gingseng dan jahe merah. (IFR/Bisnis.com)