DEPOK – Alokasi anggaran riset atau penelitian di Indonesia masih rendah bila dibandingkan sejumlah negara lain. Nilai belanja penelitian itu setara dengan Rp 16 triliun hingga Rp 17 triliun, atau secara nasional hanya 0,2 persen per-Produk Domestik Bruto (PDB).
“Itu masih jauh dibandingkan dengan negara-negara lain. Idealnya, kita 2 persen,” kata Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati selepas menghadiri peletakan batu pertama pembangunan laboratorium riset multidisiplin Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia di Kota Depok, Rabu 21 Desember 2016. Dimyati mengungkapkan, Indonesia masih tertinggal dari negara kawasa Asia lain terkait alokasi dana riset.
”Korea saja sudah punya 4,2 persen per-GDP; Tiongkok sudah lebih dari 2; Singapura ada 2,1 persen; Malaysia 1 persen,” tutur Dimyati. Anggaran riset secara nasional, tuturnya, dihitung berdasarkan alokasi dana yang dikeluarkan seluruh institusi, industri, dan masyarakat. Menurut dia, tingginya alokasi anggaran riset berbanding lurus dengan kemajuan suatu negara. Negara-negara maju banyak menghabiskan dananya bagi kepentingan riset. “Terbukti, semakin tinggi anggaran riset yang dialokasikan oleh suatu negara atau institusi, semakin maju negara atau institusi itu.”
Namun, hal itu belum dilakukan di Indonesia. Soalnya, cara pandang terhadap penelitian di Indonesia hanya kegiatan belanja alokasi anggaran. ”Mereka merasa penelitian ini adalah belanja, mereka belum memiliki prinsip bahwa penelitian itu investasi,” tuturnya. Dengan memandang riset sebagai investasi yang akan berkembang untuk produk teknologi dan industri, alokasi anggaran semestinya lebih ditingkatkan.
Tugas pemerintah, lanjut Dimyati, adalah mendorong institusi-institusi riset bisa bekerja lebih baik. Beberapa perbaikan regulasi yang penting guna mendorong riset berkembang adalah Peraturan Menteri Keuangan No 106 tahun 2016 dan Undang-Undang No 13 tahun 2016 tentang paten. “Yang paling fundamental dan bisa diharapkan mendorong para peneliti adalah Peraturan Menteri Keuangan No 106 tahun 2016 yang mendorong peneliti mulai 2017 dapat melakukan peneliti tanpa mempertanggungjawabkan administrasi, tetapi lebih banyak fokus pada outputnya,” ujar Dimyati.
Selain itu, pemerintah juga menyempurnakan UU No 13 tahun 2016 yang memberikan dorongan kepada peneliti mendapatkan royalti dari hasil risetnya. Dengan demikian, peneliti memiliki hak paten dan royalti atas jerih payahnya. Sebelumnya, hanya pemerintah dan institusi tempat peneliti bekerja yang memiliki hak paten dan royalti tersebut.
“Aturan pemberian paten royalti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No 72 Tahun 2015, jadi sudah ada aturan operasionalnya, dan itu bisa dijadikan insentif bagi peneliti melanjutkan penelitian tidak berhenti di perpustakaan dan publikasi saja,” kata Dimyati. Hasil penelitian kemudian didorong menjadi prototipe yang bisa digunakan oleh industri.
Sementara itu, Rektor UI Muhammad Anis mengatakan, mereka mendukung atmosfer riset terbangun baik di kampusnya. “Maka untuk bisa ke arah sana, SDM kita siapkan dengan mewajibkan 4 SKS mereka melakukan riset. Kemudian sarana prasarana kita upgrade, kita perbaharui kita tambah, IT infrastrukturnya kita kembangkan,” tutur Anis.
Riset dengan pendekatan multidisplin keilmuan menjadi penting dalam memberikan solusi. “Kalau melakukan riset yang bisa memberikan solusi optimal, itu harus dilakukan (melalui) pendekatan dari berbagai sudut, berbagai ilmu,” kata Anis.
Untuk mencetak tenaga dan kualitas riset, UI membangun fasilitas laboratorium riset multidisiplin di Fakultas MIPA UI. Pembangunan laboratorium itu merupaka hasil kerjasama UI da PT Pertamina yang diperkirakan selesai dalam waktu delapan bulan mendatang. (Pikiran Rakyat/IFR)