JAKARTA – Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) selama ini telah memperketat pemberian izin penelitian yang melibatkan peneliti asing.
Direktur Pengelolaan Kekayaan Intelektual Kemenristek Dikti, Sadjuga menjelaskan alasan pengetatan izin itu di acara “Sosialisasi Perizinan dan Penelitian Kolaborasi Mitra Asing” di Balai Senat Universitas Gadjah Mada (UGM), pada Rabu (30/5/2018).
“Tujuannya adalah agar Indonesia ada bargaining position [posisi tawar] dalam penelitian kolaborasi dengan mitra asing,” kata Sadjuga sebagaimana siaran resmi UGM.
Sadjuga menjelaskan izin riset bagi peneliti asing perlu diperketat mengingat Indonesia menjadi negara dengan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia dan keanekaragaman hayati terestrial terbesar ketiga dunia.
“Kekayaan alam kita ini sangat luar biasa banyaknya, kalau tidak dijaga semua akan keluar. Izin riset ini sebagai kontrol kekayaan alam Indonesia dan menjaga keamanan nasional,” kata Sadjuga.
Meskipun memperketat izin bagi peneliti asing, Sadjuga menambahkan, Kemenristek Dikti tetap mendorong kerja sama riset dengan negara lain. Kemenristek Dikti mendukung model kolaborasi yang dapat memberikan banyak keuntungan bagi kedua belah pihak.
Sadjuga mencatat, sejak 2008, kolaborasi antara periset Indonesia dengan peneliti asing mengalami penurunan signifikan. Karena itu, Kemenristek Dikti membuat sejumlah program untuk meningkatkan kolaborasi riset dengan peneliti asing, seperti melalui pertukaran ilmiah, pelatihan dan beasiswa.
Menurut Sadjuga, kolaborasi periset dalam negeri dengan peneliti asing bisa mendorong proses riset berjalan lebih cepat dan meningkatkan jumlah sitasi publikasi ilmiah asal Indonesia.
Berdasar data indeks Scopus per 6 April 2018, jumlah publikasi ilmiah Indonesia telah menduduki posisi nomor dua tertinggi di ASEAN atau hanya kalah dari Malaysia.
“Setelah 28 tahun, akhirnya kita bisa mengungguli Singapura dan menjadi nomor 2 publikasi terbanyak di ASEAN,” kata dia.
Meski jumlah publikasi ilmiah telah meningkat signifikan, kata Sadjuga, masih ada pekerjaan rumah yang besar, yakni mengerek angka sitasi.
“Salah satu indikator kualitas publikasi ilmiah adalah sitasi. Sementara sitasi publikasi ilmiah kita masih rendah,” ujar dia.
Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UGM, Ika Dewi Ana menambahkan kontribusi peneliti Indonesia di forum ilmiah internasional selama ini juga masih rendah.
“Dari beberapa publikasi [internasional] yang ada, meskipun kita punya kekayaan alam, pengetahuan, dan biodiversitas besar, peneliti Indonesia cenderung tidak setara dengan peneliti asing,” ujar dia. (IFR/Tirto.id)