JAKARTA – Nasib miris dialami Fidelis Ari, Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menggugah banyak pihak. Dia terpaksa ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) lantaran memiliki pohon ganja. Padahal selama ini ganja itu untuk mengobati sang istri. Kejadian ini membuat banyak pihak mulai mempertanyakan khasiat ganja.
Tanaman itu selama ini dikenal masuk dalam kategori narkoba kelas A. Sehingga peredarannya ilegal untuk di Indonesia. Namun, banyak penelitian menyebut tanaman itu memiliki manfaat. Itu juga dibenarkan Menteri Kesehatan Nila F Moeloek. Dia menyebut ganja memiliki efek positif bagi penggunanya, terutama mereka mengidap penyakit tertentu. Efek positif tersebut, kata Nila, pengguna dapat merasa tenang meski tengah terbaring sakit.
Bener ganja memang punya efek perasaan kita jadi tenang. Betul. Jadi kalau kita sakit diberi ini (ganja) kita akan sedikit enak,” kata Nila di Jakarta, Senin kemarin. “Karena itu setahu kita memang hanya mengurangi simtoma, rasa sakit, rasa ini, itu yang kita pake. Jadi bukan untuk penyembuhan. Jadi sekali lagi belum bisa dibuktikan.”
Walau memiliki khasiat, Nila lebih meyakini ganja memiliki banyak efek negatif bagi para penggunanya. Untuk itu, pemerintah ogah melakukan penelitian terhadap ganja. Terutama meneliti ganja sebagai obat.
Alasan utama diungkapkan Menkes Nila, besarnya biaya dipakai untuk melakukan penelitian. Dia merasa banyak hal lain untuk diteliti dibanding ganja. Maka dari itu, ganja tidak masuk dalam prioritas.
“(Penelitian) mahal kan, jadi kita harus prioritas lah. Penelitian yang menghasilkan benefitnya besar kita lakukan tapi kalau penelitian sudah mahal dan benefitnya kecil rugi dong. Dan kita masih bisa pikir yang lain. Dan penelitian yang lain masih banyak,” jelasnya.
Padahal usulan untuk melakukan penelitian pernah dilakukan. Penelitian terhadap tanaman ganja atau cannabis sebagai obat pernah diajukan ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan pada 9 Oktober 2014. Surat diajukan Yayasan Sativa Nusantara dengan nomor surat 10/LGN/RH/X/2014 tentang Optimasi Kandidat Obat (Lead) Diabetes Menggunakan Ekstrak Akar, Bunga dan Biji Cannabis.
Pada tanggal 30 Januari 2015, Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat balasan ditandatangani Kepala Balitbangkes dengan nomor LB.02.01/III.03/885/2015 tentang Izin Penelitian Menggunakan Cannabis.
Direktur Pelaksana Yayasan Sativa Nusantara, Inang Winarso, menjelaskan dalam surat balasan dari Kementerian Kesehatan tersebut tertulis izin melakukan penelitian harus berdasarkan dari dua pihak. Yaitu pihak pertama dari Tim Peneliti yang dibentuk oleh Yayasan Sativa Nusantara dan pihak kedua yang dibentuk oleh Balitbangkes Kementerian Kesehatan. Namun, penelitian belum dilakukan karena Balitbangkes sampai sekarang belum membentuk tim peneliti.
“Nah Balitbangkes Kemenkes belum menunjuk tim peneliti, padahal surat perintah keluar 2015,” kata Inang kepada merdeka.com, Senin pekan lalu.
Inang menjelaskan, penelitian terkendala hanya pada belumnya Balitbangkes membentuk tim peneliti. Padahal, dalam surat lokasi penelitian telah ditetapkan yaitu di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat tradisional milik Kementerian Kesehatan di Jalan Raya Lawu No.11, Tawangmangu Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Yayasan Sativa Nusantara sendiri sejak surat dikeluarkan telah menunjuk Prof. Dr. Musri Musman M.Sc ahli kimia bahan alam Universitas Syah Kuala sebagai pemimpin tim ahli. Sedangkan, Inang Winarso menjadi Ketua Pelaksana Penelitian.
Inang mengatakan kembali menindaklanjuti ihwal kejelasan penelitian terhadap ganja sebagai obat usai peristiwa Fidelis Ari, Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, yang ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) karena menanam ganja di halaman rumah. Fidelis menanam ganja untuk mengobati istrinya, Yeni Riawati (39) yang menderita penyakit sumsum tulang belakang atau yang biasa dikenal Syringomyelia. (IFR/Suara Pembaruan)