JAKARTA – Indonesia dan India, dua negara di papan atas berpenduduk terbesar di dunia – Indonesia peringkat ke- 4 (258 juta jiwa), India peringkat ke-2 (1,2 miliar jiwa) – memiliki beberapa kesamaan dalam keberagaman budaya dan persoalan mayoritas-minoritas.
Kedua negara itu juga dihadapkan pada kesamaan permasalahan yang berpengaruh langsung pada kesamaan permasalahan yang berpengaruh langsung pada kehidupab sosialya. Mulai dari masalah urbanisasi yang cepat, kebutuhan pendidikan yang terus meningkat, hingga perlunya antisipasi pada dinamika kaum muda.
Atas dasar itu, pada 11-12 Juli, Indian Institute of Advanced Study (IIAS) dan kedutaan besar RI di New Delhi, India menggelar simposium dua hari bertema “Manufaktur Ilmu Sosial” di Shimla, Negara bagian Himachal Paradesh, India Utara sekitar 30 akademis bidang sejarah, sastra, ilmu politik, ekonomi, agama, dan filsafat hadir.
Dari Indonesia, seperti dirilis KBRI New Delhi melalui siaran pers, tampil ketua Komisi Sosial Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Taufik Abdullah, anggota komisi sosial AIPI, Mayling Oey Gardiner; diplomat senior Hasjim Djalal, serta mantan rektor dan guru besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Simposium dibuka Wakil Duta Besar RI untuk India Dalton Sembiring dan dipandu Ronald deSouza dari lembaga riset Centre for the study of developing societies (CSDS) New Delhi. “Para akademisi mempertanyakan dan merenungkan beberapa gagasan besar yang menjadi tiang penyangga ilmu sosial, seperti pengategorian,” demikian keterangan KBRI New Delhi. “Dalam masyarakat India dan Indonesia yang moder, sekaligus kompleks pada hari ini, pengategorian dalam ilmu sosial yang bersumber dari barat membuahkan kegamangan karena perkakas serta metedologi ilmu sosial tak sesuai untuk diterapkan di kedua masyarakat,” jelasnya. (IFR)
Sumber: Harian Kompas