News

84 Profesor Dunia Lakukan Riset Bersama Peneliti Nasional

JAKARTA – Sebanyak 84 profesor kelas dunia melakukan kolaborasi dengan sejumlah perguruan tinggi dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) di Indonesia melalui program Visiting World Class Professor (WCP) 2017. Program tersebut diinisiasi Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).

Menristekdikti mengatakan, WCP bertujuan untuk memberikan kesempatan pada perguruan tinggi agar berinteraksi dengan institusi dan profesor berkelas
dunia. Dengan demikian, para peneliti dalam negeri mampu meningkatkan kinerja dan produktivitas riset inovasi.

Produktivitas riset inovasi sangat penting untuk merealisasikan target menambah dua perguruan tinggi nasional masuk ke 500 besar perguruan tinggi dunia. Menurut dia, para profesor yang di antaranya dari Perancis dan Inggris itu akan membagikan pelajaran penting kepada para peneliti lokal melalui riset bersama.

Nasir menegaskan, WCP menjadi momentum untuk mendongkrak mutu pendidikan tinggi, termasuk jumlah publikasi Indonesia. Pasalnya, jumlah publikasi Indonesia hingga saat ini masih berada di peringkat ke-3 di antara negara ASEAN, di bawah Singapura dan Malaysia. Pada akhir tahun, Kemenristekdikti berambisi menggeser Malaysia di peringkat ke-2.

“Kemenristekdikti terus melakukan terobosan. Selain menerbitkan Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017, juga melakukan Program World Class Professor ini. Targetnya tidak main-main, oleh sebab itu saya berharap para peserta program World Class Professor dapat merumuskan suatu rancangan untuk perbaikan penyelenggaraan pendidikan tinggi, riset, dan inovasi di Indonesia,” tutur Nasir pada Pembukaan Seminar World Class Professor 2017 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis 16 November 2017.

Saat ini, setidaknya sudah ada tiga universitas Tanah Air yang masuk dalam 500 besar dunia, yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Nasir berharap Institut Pertanian Bogor dan Universitas Diponegoro masuk 500 besar pada tahun depan. “Bukan hanya mewujudkannya publikasi ilmiah saja, tetapi juga jumlah doktor muda yang unggul dalam pengembangan riset semakin banyak,” katanya.

Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti menjelaskan, penyelenggaraan program Visiting World Class Professor terbagi menjadi dua skema. Skema A mensyaratkan perguruan tinggi pengusul dan profesor yang diundang. Ghufron mengatakan, persyaratan skema A lebih berat, sedangkan skema B lebih sederhana, begitu pula dengan target yang dibidik.

“Sebagai contoh skema A diperuntukkan bagi perguruan tinggi dengan akreditasi A, sedangkan skema B dapat diikuti oleh minimal perguruan tinggi berakreditasi B. Begitu juga profesor yang diundang pada skema A harus ada minimal satu yang memiliki h-index Scopus minimal 25. Untuk skema B, profesor yang diundang cukup memiliki h-index minimal 5, dan diutamakan berpengalaman memimpin laboratorium riset atau editor jurnal internasional bereputasi,” ujar Ghufron.

Ia mengungkapkan, dari skema A ditargetkan mampu menghasilkan tak kurang enam manuskrip joint publication di jurnal internasional bereputasi Q1/Q2-SJR Scimago dalam status under review. Sementara untuk skema B, minimal menghabiskan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau joint publication di jurnal internasional bereputasi, seperti Scopus, Reuters, dan Thomson dengan impact factor minimal 0,2. Adapun pada akhir kegiatan sudah dalam status under review atau HAKI sudah didaftarkan.

“Perlu diketahui bahwa program Visiting World Class Professor ini berbeda dengan Diaspora. Selain lebih banyak melibatkan profesor yang berasal dari luar negeri juga ada proposal yang diajukan. Sehingga perguruan tinggi di Indonesia sudah tahu berkolaborasi dengan siapa, termasuk dengan track record profesornya,” katanya. (IFR/Pikiran Rakyat)

Join The Discussion