News

Menanti Kebangkitan Kembali Penelitian Ilmiah Jepang

Dalam 150 tahun terakhir sejak Restorasi Meiji, kemajuan sains dan teknologi telah menjadi kekuatan utama modernisasi Jepang. Saat ini, rupanya prospek penelitian ilmiah Jepang tidak terlalu menjanjikan. Jepang saat ini malah mengalami kemajuan pesat dalam ilmu komputer dan robotika, berbagai data menunjukkan, penelitian ilmiah Jepang dalam kemunduran. Pemerintah, universitas, dan lembaga penelitian harus secepatnya mengambil langkah serius untuk mengatasi masalah tersebut.

Sejak 2000, sebanyak 17 orang Jepang telah menerima Nobel ilmu pengetahuan alam. Namun sebagian besarnya adalah yang memiliki karya 20-40 tahun sebelumnya. Kondisi peneliti Jepang kian mengkhawatirkan. Hampir tidak ada perubahan anggaran penelitian dan pengembangan negaranya, bahkan cenderung stagnan. sementara negara seperti China, Korea Selatan, dan Jerman telah meningkatkan anggaran penelitian dan menjadi hal yang paling substansi negaranya.

Jurnal ilmiah Inggris Nature melaporkan publikasi oleh penulis Jepang di jurnal ilmiah berkualitas seperti Web of Science turun 8,3 persen selama lima tahun terakhir. Publikasi Jepang pada 2015 pun 10 persen lebih sedikit dari 2005 dalam sains dan teknik material.

Sebaliknya, Artikel ilmiah China di Web of Science tumbuh hampir 300 persen selama periode yang sama. Peneliti Jepang menerbitkan sekitar 600 lebih sedikit artikel ilmiah pada 2015. Nature juga melaporkan, sementara jumlah artikel di basis data Scopus, meningkat 80 persen pada dekade yang sama, output Jepang tumbuh hanya 14 persen, dengan pangsa globalnya turun dari 7,4 persen menjadi 4,7 persen.

Institut Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional mengatakan, jumlah makalah ilmiah yang dikeluarkan Jepang turun dari 68.000 pada periode 2003-2005 menjadi 64.000 pada 2013-2015, sehingga mendorong peringkat globalnya turun dari posisi 2 menjadi posisi 4. Sementara China meningkat lebih dari empat kali lipat dari 52.000 menjadi 220.000, dan berda di posisi 2, dan Amerika Serikat tetap menjadi pemimpin dunia.

Belanja fiskal penelitian sains dan teknologi Jepang pada 2016 pun turun 1,1 persen dari tahun ke tahun menjadi 3,6 triliun di universitas, dan 6,2 persen menjadi 1,51 triliun yen di organisasi publik dan nirlaba. Pengeluaran riset terbatas memperketat persaingan antar peneliti untuk mencari dan mendapatkan dana yang kompetitif. Karena dana tersebut diberikan secara ad hoc, mereka tidak membantu menstabilkan pekerjaan para peneliti muda dan sebaliknya membuat banyak institusi menyewa periset berdasarkan kontrak kerja.

Pendekatan “seleksi dan konsentrasi” menekan peneliti untuk mengejar target lebih cepat. Ini juga memperlemah dasar penelitian, yang sebenarnya memerlukan lingkungan yang menjamin kebebasan bagi peneliti untuk terlibat dalam proyek yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Pemerintah harus meneliti apakah penyaluran dana diarahkan pada proyek penelitian yang tepat sasaran atau justru gagal memperkuat infrastruktur penelitian secara keseluruhan, termasuk di universitas-universitas di luar wilayah metropolitan.

Masalah lain adalah dalam hal penelitian. Universitas Tokyo misalnya mengklaim, menemukan kesalahan dalam lima makalah yang diawasi dan ditulis bersama oleh seorang profesor di Institut Molekuler dan Biosains Seluler.

Pentingnya dana besar untuk melakukan penelitian dari sudut pandang jangka panjang. Pemerintah harus meninjau ulang kebijakan dalam hal pengembangan ilmu pengetahuannya, termasuk penempatan peneliti muda, yang bisa meningkatkan lingkungan penelitian secara luas. (japantimes.co.jp/msr)

 

Join The Discussion