JAKARTA – Data dari Badan Kementerian Ekonomi Kreatif tahun 2017, sebanyak 8,2 juta orang sudah bekerja bidang ekonomi kreatif, kebanyakan anak-anak muda.
Salah satu ciri bidang ekonomi kreatif adalah kegiatan tersebut penuh inovatif dan kreatif.
“Anak-anak muda sekarang ini banyak yang sibuk berkarya. Mereka enggak peduli apakah harus inovatif, ada pilkada atau apapun. Pasar lah yang menjadi riset mereka. Coba lihat facebook, youtube, tidak perlu mikir lama tapi langsung. Ketika pasar menyambut atau ada sesuatu yang perlu diperbaiki baru perbaikan sana sini. Terpenting berani dulu ke pasar,” kata Guru Besar Sistem Informasi dan Rektor Prodita Institute Dr Ir Richardius Eko Indrajit MSc MBA saat Press Conference Focus Group Discussion (FGD) Forum Rektor Indonesia 2017 di Universitas Al Azhar, Senin (4/12/2017).
Selain anak-anak muda, motor penggerak inovasi dan riset datang dari kampus-kampus.
Pada kampus di luar negeri, pendapatan terbesar justru dari penelitian, riset untuk inovasi industri.
Para profesor dibayar dan mendapatkan royalti dari hak paten yang didapat.
Kalau sudah mendapat hak paten, royalti yang diterima bisa tidak habis tujuh turunan.
Sayangnya, walaupun pemerintah menggelontorkan dana besar untuk penelitian dan pengembangan (alokasi APBN untuk penelitian dan pengembangan tahun 2015-2017 sebesar Rp 23,4 triliun, red), namun penelitian yang dihasilkan belum menghasilkan banyak inovasi dan diserap industri.
“Ada konsep 100 penelitian yang masuk, paling hanya dua saja yang bisa dijalankan untuk industri atau komersialisasi. Dari keseluruhan penelitian yang masuk hanya 7 persen saja yang diminati industri untuk dikembangkan,” ujar Kasub Dit Pengembangan Sistem dan Jaringan Inovasi Kemenristek Dikti Dr Wihatmoko Waskitoaji di kesempatan yang sama.
Menurut Eko, banyak peneliti termasuk dosen yang melakukan penelitian hanya karena kewajiban.
“Ada konsep 100 penelitian yang masuk, paling hanya dua saja yang bisa dijalankan untuk industri atau komersialisasi. Dari keseluruhan penelitian yang masuk hanya 7 persen saja yang diminati industri untuk dikembangkan,” ujar Kasub Dit Pengembangan Sistem dan Jaringan Inovasi Kemenristek Dikti Dr Wihatmoko Waskitoaji di kesempatan yang sama.
Menurut Eko, banyak peneliti termasuk dosen yang melakukan penelitian hanya karena kewajiban.
Mau bisa dipakai atau tidak selesai sudah. Sementara riset di negara besar, ketika penelitian belum bisa dijual atau diterapkan dianggap belum selesai.
“Ada mekanisme kalau meneliti berhasil apa untungnya buat saya? Di luar negeri, ketika ada paten bisa buat tujuh turunan. Ada intensif, jadi terkenal, ada jabatan jadi guru besar. Motivasi harus dibangun dan dibuat. Kalau tidak penelitian akan begitu-begitu saja,” katanya.
Eko mengatakan, saat ini, intervensi perlu dilakukan agar tumbuh motivasi melakukan penelitian yang bersungguh-sungguh. Kalau motivasi sudah tumbuh, akan jadi budaya.
Di kampus, dosen bisa menjadikan penelitian jadi bagian dari tugas.
Misalnya, ketika masuk semester satu, jadikan mahasiswa sebagai responden, membuat statistik.
Lalu, jadikan surveyor dengan tugasnya mencatat, dan mengolah data. Di semester akhir, mahasiswa tersebut sudah bisa dilepas dan menjadi peneliti muda.
“Kalau sudah merasakan jadi peneliti dan mendapatkan hasilnya akan ketagihan. Minimal ketika penelitiannya berhasil akan jadi terkenal. Kalau sudah terkenal bisa jadi pembicara, dosen tamu dan lainnya,” ucap Eko lagi.
Ia menjelaskan, di luar negeri, ekosistem sudah terbentuk, Perguruan Tinggi yang bertumpu pada riset, pemasukan justru dari riset.
“Riset harus dilakukan agar pemasukan tetap ada. Begitu juga paten. Kalau nggak ada paten, ya ngga ada pemasukan. Dan riset ini sangat dipercaya dan dijadikan R and D (Research and Development) industri,” tuturnya.
Walaupun industri memiliki R and D sendiri, namun, kampus tetap dilibatkan.
“Kalau dikasih ke kampus beda. Mereka mencampur atau hibrid. R and D di perusahaan uji coba di kampus,” cerita Eko.
Samsung, misalnya, bisa memberikan dana Rp 1 triliun kepada profesor di salah satu kampus untuk mendapatkan masukan mengenai produk masa depan Samsung.
Di Indonesia diharapkan bisa menelorkan inovasi dan riset yang sedang dibutuhkan di Indonesia. Ia beranggapan, bidang pertanian bisa lebih digalakan.
Sehingga, komoditi yang sampai sekarang masih impor bisa swasembada.
“Cina ketinggalan 20 tahun, tapi akselerasi bisa dilakukan. Di Indonesia posisi riset dan inovasi penting tapi belum dianggap genting,” katanya. (WARTAKOTA)