Lyn Parker, peneliti Australia mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia sudah seharusnya menambah materi toleransi dengan tujuan agar dapat terus merawat keharmonisan di masyarakat.
Hal ini disampaikan Parker dalam Konferensi Internasional Tahunan Pendidikan Islam atau “Annual International Conference on Islamic Studies” (AICIS) 2017 di ICE BSD Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (22/11/2017).
Peneliti dari Asian Studies, School of Social Sciences The University of Wertern Australia itu mengatakan Indonesia mengalami perubahan besar yang nyata dalam praktik keagamaan pascatumbangnya Orde Baru pada 1998. Parker menyampaikan bahwa kata kunci toleransi masih sedikit ditemukan dalam buku-buku pelajaran bahkan di pendidikan karakter secara tradisional.
Menurut Parker, hal ini terindikasi dari munculnya kelompok-kelompok fundamentalis dan intolerasi setelah Orba tumbang.
“Toleransi bukanlah karakter yang begitu diminati dalam pendidikan karakter tradisional di Indonesia. Penambahan porsi toleransi di Indonesia merupakan langkah yang signifikan,” kata Parker dilansirAntara.
Argumen Parker itu didasarkan pada sejumlah kajian beberapa literatur akademik, terutama Kurikulum 2013 Indonesia yang berkisar tentang karakter pendidikan moral. Atas kajiannya, disimpulkan bahwa ide soal toleransi bukanlah konsep yang sangat ambisius.
Secara etimologis, kata Parker, toleransi hanya muncul dari tindakan atau praktik bertahan atau mempertahankan rasa sakit atau kesusahan. Dia mencontohkan, dalam Kurikulum 2013 untuk kelas 11, hanya didapati satu kata toleransi dalam buku tersebut.
Namun demikian, lanjut dia, toleransi diidentifikasi sebagai karakter penting yang sangat diinginkan dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Dalam Kurikulum 2013, tujuan utama pendidikan adalah untuk menciptakan manusia beriman, berpengetahuan, sehat dan toleran. Toleransi memang perlu ditingkatkan di Indonesia terlebih hal itu sangat diinginkan.