Jakarta – Korupsi biaya perkara di pengadilan negeri diduga masih marak terjadi. Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Muhammad Rizaldi, mengatakan lembaganya menemukan banyak pungutan liar (pungli) di sejumlah pengadilan.
Di lima pengadilan negeri di Jakarta contohnya, berdasarkan hasil riset MaPPI sepanjang Januari-Agustus 2017, ditemukan sejumlah pungli dalam proses pendaftaran perkara hingga permintaan salinan putusan. “Baik perkara perdata maupun pidana,” ujarnya, Senin, 20 November 2017.
Potensi korupsi paling tinggi ditemukan dalam pendaftaran perkara perdata. Sebanyak 202 responden, yang mayoritas merupakan pengacara, mengaku pernah memberi imbalan tak resmi kepada petugas pengadilan saat mendaftarkan perkara.
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Bukan Pajak yang Berlaku pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya sudah mengatur ketentuan biaya pendaftaran perkara. Misalnya, pendaftaran surat kuasa hanya dibebani Rp 5.000. Namun, dalam praktik, biayanya lebih dari itu. “Mayoritas responden mengaku membayar Rp 50 ribu sampai lebih dari Rp 100 ribu,” ujar Rizaldi.
Biaya permintaan salinan putusan lebih mahal lagi. Mayoritas responden mengaku kerap mesti membayar hingga Rp 2 juta per bundel salinan. Padahal, berdasarkan aturan, harga per lembar salinan itu hanya Rp 300.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan pungutan liar seperti itu tidak hanya terjadi di pengadilan negeri di Ibu Kota. “Berdasarkan pengalaman, hampir seluruh pengadilan seperti itu, berupaya memberikan tarif tertentu di luar aturan,” kata dia.
Praktik pungli itu sudah jamak terjadi jauh sebelum ada reformasi konstitusi dengan penambahan lembaga pengawas seperti Komisi Yudisial (KY). Hanya, Feri menambahkan, belum banyak pihak yang lebih berani mengungkapnya. Menurut dia, masalah pungli ini tak lepas dari sikap Mahkamah Agung (MA) yang terkesan menolak KY sebagai lembaga pengawas. Karena itu, ia meminta MA terbuka menerima KY. “MA harus berani terbuka dengan KY untuk memperkuat peradilan di bawahnya,” kata dia.
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, menilai temuan MaPPI tersebut bisa menjadi pokok aduan apabila terbukti. Ia mempersilakan penyimpangan itu dilaporkan ke Badan Pengawas Mahkamah Agung. Nantinya, Badan Pengawas akan turun langsung ke lokasi untuk menyelidiki. “Kalau terbukti, nanti pelakunya dikasih sanksi tergantung kesalahan,” katanya.
Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Made Sutrisna, mengatakan lembaganya telah melakukan perbaikan, termasuk memberantas pungli. Ia yakin sudah tidak ada lagi pungli di pengadilannya. “Kalau bicara beberapa bulan terakhir ini, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah clear, pungutan-pungutan sama sekali sudah tidak ada,” kata dia. “Silakan dicek ke sini, kami siap.” (TEMPO.CO)