News

Peneliti Indonesia Berkarya di Tengah Keterbatasan Dana Riset

Keterbatasan anggaran tidak menghentikan para peneliti untuk melahirkan karya inovasi di bidang teknologi. Baru-baru ini, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla meresmikan hasil penemuan teknologi nuklir yang berfungsi untuk mengawetkan makanan bernama Iradiator Gamma Merah Putih, di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Tangerang Selatan.

Pada kesempatan tersebut, Jusuf Kalla juga meresmikan Laboratorium Radioisotop dan Radiofarmaka BATAN. Iradiator Gamma didesain, dibangun, dan dioperasikan oleh anak-anak negeri Indonesia. JK menuturkan, penemuan tersebut sangat membanggakan dan sebagai bukti bahwa nuklir bisa bermanfaat bagi masyarakat. Menurut dia, penerimaan masyarakat atas pemanfaatan teknologi nuklir untuk energi perlu terus ditingkatkan.

“Iradiator ini dapat memberikan sumbangsih baik bagi bangsa Indonesia maupun negara lain. Ini adalah contoh pemanfaatan teknologi nuklir untuk damai. Bagaimana meningkatkan hasil pertanian di mana lahan berkurang. Teknologi ini adalah solusi untuk menghasilkan bibit yang baik,” ujar Jusuf Kalla.

Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menambahkan, Iradiator Gamma Merah Putih dan Laboratorium Radioisotop dan Radiofarmaka ini dapat menjadi tonggak dimulainya kebangkitan teknologi nasional. Menurut dia, inovasi teknologi nuklir dapat bermanfaat banyak bagi masyarakat. Dengan anggaran riset yang kecil, Indonesia masih produktif dalam berkarya.

“Beberapa inovasi juga telah ditelorkan oleh para peneliti anak-anak negeri, seperti temuan bibit padi SIDENUK oleh BATAN, bibit kedelai hitam Malika oleh UGM, motor listrik GESITS oleh ITS, metode percepatan penggemukan sapi secara genetik oleh LIPI, pengembangan kapal datar oleh UI, dan pengembangan N219 oleh LAPAN yang baru saja diberi nama Nurtanio oleh Presiden RI,” kata Nasir.

Anggaran
Nasir menuturkan, anggaran belanja untuk riset dan pengembangan pada tahun ini baru senilai 0,25% per GDP, atau sekitar Rp 30,8 triliun. Sebagian besar dana tersebut berasal dari APBN yang nilainya mencapai 84% dari total dana riset, sekitar Rp 26 triliun. Pihak swasta menyumbah 16% atau sekitar Rp 4,8 triliun. Menurut dia, Jika dibandingkan dengan negara maju seperti Korea Selatan, belanja riset dan pengembangannya mencapai 4,2% per GDP.

“Di tengah-tengah (keterbatasan dana) itu, saya mengapresiasi sebagian peneliti masih mampu menunjukkan prestasinya,” ujarnya.

Nasir mengtakan, pada tahun depan Kemenristekdikti sudah mengusulkan penambahan dana riset menjadi sekitar Rp 40 triliun, atau 2% dari APBN tahun anggaran 2018. Ia menuturkan, pengajuan tambahan dana tersebut sudah masuk dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek. Menurut dia, jumlah ideal untuk dana penelitian sekitar Rp 100 triliun. “Harapanya usulan dalam RUU itu bisa disetujui,” katanya.

Nasir menjelaskan, anggaran riset Indonesia masih kecil ketimbang sejumlah negara di Asia Tenggara. Ia mencontohkan, dana riset yang digelontorkan pemerintah Malaysia pada 2017 sebesar 2,8%, lebih dari Rp 150 triliun. “Di Malaysia dan Singapura, kerja sama penelitian antara negara-negara tersebut dengan industri yang alokasinya mencapai 80% dari pihak swasta dan 20% dari pemerintah. Sedangkan di Indonesia kondisi tersebut terbalik, mayoritas anggaran sebesar 80% lebih banyak dari pemerintah,” ujarnya. (IFR/PikiranRakyat.com)

Join The Discussion