Jakarta – Ada 5 ribu orang guru besar atau profesor di Indonesia saat ini. Berapa yang aktif meneliti dan membuat karya ilmiah dalam bentuk publikasi riset? Entahlah. Beberapa tahun yang lalu saya baca berita bahwa untuk perguruan tinggi sekelas UGM, hanya 30 persen dari guru besarnya yang melakukan riset. Yang lain melakukan apa?
Ada salah kaprah yang sudah berlumut dalam dunia akademik kita, yaitu menganggap jenjang profesor adalah puncak karier. Bila telah sampai di situ, orang sudah boleh istirahat, atau menikmati imbalan. Maka, orang-orang yang tadinya aktif meneliti, biasanya berhenti saat sudah jadi profesor.
Itu sebuah ironi. Yang benar adalah menjadi profesor itu awal untuk berkarya secara mandiri. Profesor memiliki wewenang penuh untuk menyusun proposal anggaran, dan membimbing mahasiswa di semua tingkat, dari S1 sampai S3. Ibaratnya, jenjang profesor itu sebuah SIM untuk mulai melakukan riset secara mandiri dengan wewenang penuh. Jadi, sangat aneh kalau justru berhenti riset saat menjadi profesor.
Sebenarnya itu pun masih lebih baik. Ada begitu banyak profesor, mungkin lebih dari 70% dari yang sekarang ada, tidak punya rekam jejak meneliti. Cobalah sebut nama guru besar di sebuah perguruan tinggi, lalu cari nama itu dalam mesin pencari karya ilmiah seperti Scopus atau Google Scholar. Besar kemungkinan nama mereka tidak muncul. Atau, sekadar muncul dalam catatan di jurnal-jurnal dalam negeri saja.
Di masa lalu jabatan profesor memang didapat dengan rajinnya orang mengumpulkan angka kredit melalui berbagai sertifikat, yang makna ilmiahnya hampir nol. Jadi, orang jadi profesor bukan karena karya ilmiah, tapi semata karena rajin mengumpulkan dokumen.
Ada juga kesalahan lain, yaitu anggapan bahwa seorang profesor harus punya jabatan tertentu. Itu sungguh konyol, karena profesor itu sendiri sudah sebuah jabatan. Itu jabatan tertinggi di bidang akademik. Jadi, seorang profesor hanya perlu bekerja meneliti, tidak perlu jabatan lain.
Akibat prinsip itu, maka profesor lalu diletakkan pada jabatan-jabatan yang membuat ia sibuk, lalu tak lagi bisa meneliti. Tapi benarkah jabatan itu jadi penghambat? Mungkin tidak. Pengalaman saya sepuluh tahun kerja riset di Jepang menunjukkan bahwa apapun jabatan yang disandang oleh profesor, ia tetap bisa melakukan kegiatan riset. Kuncinya adalah kesadaran bahwa profesor itu melakukan riset, bukan yang lain. Maka, apapun jabatannya, profesor akan memprioritaskan risetnya.
Kita ini memang terlalu banyak seremoni. Pejabat kampus seperti dekan atau rektor mungkin harus mengalokasikan 20-30% waktunya untuk seremoni. Ada acara tertentu, rektor harus memberi pidato. Dekan harus hadir pula. Padahal acara bisa berlangsung tanpa sambutan itu. Maka rektor, dekan, ketua jurusan, ketua lembaga, kehabisan waktu untuk berbagai seremoni. Belum lagi berbagai seremoni di luar kampus, bersama gubernur, atau pejabat lain. Padahal waktu itu bisa dipakai untuk riset.
Itu pun masih lebih baik. Yang terburuk adalah, banyak profesor yang kemudian sibuk di luar, tidak ada kait-mengaitnya dengan kegiatan pendidikan maupun riset. Mereka sibuk jadi konsultan, mengerjakan proyek, atau bahkan berpolitik.
Kini pemerintah melalui Kemenristek Dikti telah melakukan tekanan terhadap para guru besar. Setiap tiga tahun kinerja mereka akan dievaluasi. Guru besar yang tidak sanggup menghasilkan karya ilmiah di jurnal internasional, satu judul setiap tahun, akan dicabut tunjangannya.
Ini langkah bagus. Tapi kebijakan ini masih perlu dipantau efektivitasnya. Orang-orang ini adalah orang-orang yang sudah lihai memainkan berbagai dokumen. Jangan sampai peraturan ini menjadi tidak efektif, karena pelaksanaannya berfokus pada dokumen, bukan substansi.
Di luar soal regulasi, menurut saya harus ada gerakan moral. Jabatan profesor itu harus tidak lagi disakralkan. Seseorang yang menduduki jabatan non-akademik, harus menanggalkan “gelar” profesornya. Karena profesor itu memang bukan gelar. Profesor yang jadi menteri bukan lagi profesor. Maka tanggalkan sebutan itu.
Lalu, profesor yang tidak punya karya ilmiah, sebaiknya juga tidak lagi disebut profesor. Akan lebih baik kalau ia mengundurkan diri saja. Profesor tanpa karya ilmiah itu ibarat orang punya SIM tapi tak pandai menyetir.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia