JAKARTA – Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LDUI) Abdillah Ahsan mengatakan kenaikan cukai tembakau terbukti menurunkan prevalensi merokok di Indonesia.
“Terjadi penurunan prevalensi merokok dari 36 persen pada 2013 menjadi 32 persen pada 2016. Produksi rokok tahunan juga mengalami penurunan dari 348 miliar batang pada 2015 menjadi 342 miliar batang pada 2016,” kata Abdillah dihubungi di Jakarta, Jumat.
Karena itu, Abdillah mengapresiasi rencana pemerintah yang akan kembali menaikkan tarif cukai tembakau 10,04 persen pada 2018. Apalagi, Indonesia secara reguler menaikkan tarif cukai rokok di atas inflasi dan pertumbuhan ekonomi setiap tahun.
Meskipun produksi rokok pada 2016 menurun bila dibandingkan dengan 2015, Abdillah mengatakan tetap ada catatan yang harus diwaspadai.
Pasalnya, bila dilihat dari 2005 hingga 2015, produksi rokok mengalami kenaikan drastis dari 222 miliar batang menjadi 348 miliar batang. Itu berarti selama 10 tahun terjadi peningkatan produksi 126 miliar batang atau 12,6 miliar batang setiap tahun.
“Karena itu, tidak boleh kendor dalam menurunkan konsumsi rokok. Ada siklus dalam konsumsi rokok yang harus dijaga agar terus turun dan tidak kembali meningkat,” tuturnya.
Abdillah menilai kebijakan cukai tembakau saat ini masih terlalu rumit karena berlapis-lapis sesuai dengan kapasitas produksi industri dan jenis rokok yang diproduksi.
“Agar konsumsi rokok turun secara maksimal, tarif cukai rokok perlu disederhanakan,” ujarnya.
Pemerintah akan menaikkan cukai tembakau rata-rata 10,04 persen yang berlaku pada 1 Januari 2018. Keputusan menaikkan cukai tembakau itu ditetapkan dalam rapat internal yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Kamis (19/10). (IFR/AntaraNews.com)