SERPONG – Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir mengeluhkan minimnya anggaran riset. Karena itu, ia berharap anggaran penelitian sesuai Rancangan Undang-undang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek sebesar 2% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2018 mendatang.
Nasir mengungkapkan, saat ini anggaran riset di seluruh lembaga pemerintahan hanya sebesar 0,23% dari Gross Domestic Product (GDP). Naik dari sebelumnya hanya sebesar 0,08% dari GDP.
“Ya, saya sih berharapnya usulan di RUU tersebut disetujui. Kalau pun tidak, ya tidak apa-apa. Tapi kalau ternyata yang disetujui lebih besar dari pengajuan, alhamdulillah,” katanya kepada wartawan usai membuka Puspiptek Inovation Festival 2017, di Serpong, Tangerang Selatan, Jumat (29/9).
Jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, ujar Nasir, anggaran penelitian Indonesia bagaikan langit dan bumi. Contohnya, Malaysia menganggarkan dana belanja sebesar 1,2%, sedangkan Singapura 2,8% dari APBN mereka.
Belum lagi kerjasama penelitian antara negara-negara tersebut dengan industri yang alokasinya mencapai 80% dari pihak swasta dan 20% dari pemerintah. Sedangkan di Indonesia kondisi tersebut terbalik. Mayoritas anggaran sebesar 80% lebih banyak dari pemerintah.
“Maka dari itu, menurut saya kerjasama dengan dunia industri ini harus dipikirkan ulang lagi bagaimana polanya,” ujar Nasir.
Mantan Rektor Universitas Diponegoro itu menekankan pentingnya biaya penelitian karena riset merupakan salah satu jalan pembangunan ekonomi nasional seperti di negara-negara maju lainnya.
Dia yakin dengan mengedepankan penelitian maka akan lahir inovasi-inovasi yang baru yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Terlebih yang paling penting adalah akan semakin memangkas biaya hidup jika penelitian mampu melahirkan inovasi alternatif dari teknologi saat ini.
“Seperti energi, harus mulai dipikirkan. Jangan hanya mengandalkan fosil, harus ada inovasi, misalnya dari nuklir. Kita harus bisa membuktikan energi nuklir yang aman dan efisien serta bermanfaat,” kata Nasir.
Namun di sisi lain, industri pun belum sepenuhnya memanfaatkan hasil riset perguruan tinggi yang jumlahnya sangat banyak dikarenakan masih minimnya informasi dari riset tersebut.
Akibat kurangnya pemanfaatan inovasi anak bangsa membuat Indonesia dibanjiri produk impor dengan teknologi negara lain.
“Padahal banyak dari teknologi (negara lain) serupa dengan hasil riset yang dikembangkan perguruan tinggi,” kata Armai.
Menurutnya, regulasi yang dikeluarkan pemerintah untuk menjembatani industri dan perguruan tinggi sudah memadai, di antaranya kebijakan paten untuk memberikan perlindungan kepada penemu yang karyanya dimanfaatkan dalam skala komersialisasi.
Jika inovasi-inovasi tersebut bisa didapatkan dari dalam negeri, tentu akan sangat menguntungkan industri karena biaya yang dikeluarkan lebih murah daripada harus membeli karya negara orang.
“Karya inovasi tersebut akan sangat bermanfaat bagi industri, agar produk yang dihasilkan tidak tertinggal dengan negara lain,” pungkas Armai. (IFR/Radar Cirebon)