JAKARTA – Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan inovasi berperan penting dalam peningkatan nilai tambah dan daya saing industri nasional. Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Haris Munandar, penguatan HKI dapat menjadi penghela inovasi.
Untuk itu, Kementerian Perindustrian telah memfasilitasi pengembangan HKI dan inovasi industri melalui lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) yang dimilikinya. ”Upaya ini untuk mewujudkan Indonesia sebagai produsen, promotor maupun eksportir dari produk-produk yang berbasis kekayaan intelektual dengan standar internasional,” papar Haris yang juga selaku Ketua Pembina PM-HKI pada Rapat Kerja Pusat Manajemen HKI tahun 2017 di Jakarta, Selasa (18/7).
Berdasarkan data Global Competitiveness Index dari World Economic Forum 2016-2017, Indonesia menempati peringkat ke-41 dari 138 negara dengan pilar inovasi menduduki peringkat 31, subpilar kapasitas inovasi menduduki peringkat ke-32, subpilar belanja teknologi tinggi pemerintah peringkat ke-12, dan subpilar paten internasional menduduki peringkat ke-99.
”Data tersebut menunjukkan bahwa inovasi yang dihasilkan masih berupa riset dasar yang belum dapat diaplikasikan dan dikomersialkan dalam dunia industri,” ungkap Haris. Untuk itu, diperlukanupaya-upaya peningkatan inovasi teknologi terapan yang lebih dapat diaplikasikan secara komersial, sehingga seluruh hasil inovasi tersebut dapat mendongkrak posisi daya saing Indonesia di kancah ekonomi global.
Salah satu upayanya adalah penguatan dan pengembangan HKI melalui perolehan paten atas invensi yang dihasilkan. Berdasarkan data World Intellectual Property Organization (WIPO), dari 9.153 paten yang terdaftar di Indonesia pada tahun 2015 sebanyak 8.095 paten atau 89 persen merupakan paten yang berasal dari luar negeri, sedangkan paten dalam negeri hanyasebesar 1.058 paten.
Hal tersebut menunjukkan masih banyaknya kendala yang perlu diatasi bersama dalam mengejarketertinggalan dari negara maju. ”Untuk mengejarnya, perlu upaya melalui peningkatan sumber daya manusia serta anggaran dan fasilitas riset yang memadai untuk mendorong terciptanyainovasi yang dapat diaplikasikan,” papar Haris.
Lebih lanjut, menurutnya, kegiatan litbang seharusnya dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar setiap hasilnya dapat dikomersialkan. Pemangku kepentingan itu, antara lain akademisi selaku pelaksana litbang dasar yang memiliki kompetensi scientific yang memadai.
Selanjutnya, lembaga litbang terapan yang melakukan pengkajian dan penerapan dalam skala industri, serta lembaga litbang di masing-masing instansi yang bertugas melakukan problem solving terhadap permasalahan yang dihadapi pelaku usaha dalam menghasilkan produk berdaya saing.
”Kerja sama litbang tersebut perlu dilakukan secara sinergi dan berkesinambungan, mulai dari perencanaan litbang, pelaksanaan litbang dasar, litbang terapan, dan scalling-up hingga kepada produksi massal oleh pelaku usaha komersial,” jelasnya.
Selain itu, dalam rangka efisiensi dan efektivitas serta mengurangi risiko kegagalan, proses litbang harus dikaji dan divalidasi pada setiap milestone baik untuk menguji tingkat kesiapterapan teknologi, menguji tingkat kesiapterapan manufaktur, maupun menguji resiko-resiko atas kemungkinan terjadinya ketidaksinambungan dalam mewujudkan komersialisasi hasil litbang.
Selama periode tahun 2005-2017, Kemenperin sudah menghasilkan 91 paten yang terdiri dari 79 paten dan 12 paten sederhana. Dari total tersebut, 37 paten tercatat sudah granted, 25 paten dalam tahap pemeriksaan substantif dan 29 paten lainnya masih dalam pemeriksaan administratif.
“Secara statistik, setiap tahunnya, kami menghasilkan rata-rata delapan paten. Sementara itu, jumlah unit litbang di Kemenperin mencapai 11 unit Balai Besar dan 11 unit Baristand Industri,” ungkapnya. (http://thepresidentpostindonesia.com)