BANDUNG- Pakaian atau sandang menjadi salah satu kebutuhan utama manusia selain makanan dan tempat tinggal. Dalam perkembangannya, manusia kemudian menemukan katun (kapas ) sebagai bahan utama pakaian. Kain sintetis berbahan poliester kemudian dikembangkan pada pertengahan abad ke-20. Kain berbahan serat alami seperti pinus, rami, atau bambu juga dikembangkan sebagai alternatif.
Penggunaan bahan tekstil berbasis selulosa tumbuhan ini kemudian menimbulkan banyak pertanyaan menyangkut isu lingkungan. Apakah benar bahan-bahan itu ramah lingkungan? Apakah penanaman pohon kapas tak menggunakan pestisida yang banyak? Apakah pakaian yang kita pakai sekarang tak membuat sebuah bukit menjadi gundul?
Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi tantangan bagi Sapta P. Soemowidjoko, seorang seniman sekaligus pelaku industri kreatif di Bandung. Sapta yang berbasis ilmu sains kemudian mencoba mengembangkan hal baru dalam industri fashion dan sangat ramah lingkungan. Ia menjadikan bakteri sebagai bahan tekstil.
Bakteri yang digunakan sama dengan bakteri pada proses pembuatan kombucha, minuman teh asal Asia Timur. Kain selulosa bakteri ini dapat dibuat sekitar dua minggu dengan perlakuan khusus yang sebenarnya dapat dilakukan pada skala rumahan oleh siapa saja. Sebagai prototipe, dari kain berbahan bakteri itu, Sapta membuat dasi kupu-kupu dan suspender (aksesori yang bisa menggantikan sabuk sebagai pengencang celana pria).
Kain kumbucha yang dihasilkan itu tak seperti kain selulosa biasa. Agak menyerupai bahan kulit dengan bahan yang lebih tipis. Dengan perlakuan, motif kain juga dapat dibuat sesuai dengan yang diinginkan dengan menyelipkan serat bambu.
”Mimpi saya, kita tak lagi bergantung pada bahan katun yang harus dibeli saat akan membuat pakaian. Ibu-ibu tinggal membuatnya sendiri, menunggu sekitar 2 minggu, lalu jadilah kain untuk kemudian dibuat pakaian,” kata Sapta pada seminar ”Fashion in Response, Nano and Biotechnology” di auditorium NuArt Sculpture Park, Jalan Setra Duta Raya No L 6, Kota Bandung, Sabtu 22 Juli 2017. Seminar itu menjadi bagian dalam pameran ”Slow Fashion Fashion Lab” kerja sama Goethe Institut dan Kriya Tekstil ITB di tempat yang sama.
Pria kelahiran 29 November 1978 itu menyinggung tentang bakteri yang digunakan. Menurut dia, di Indonesia, bakteri selalu dipandang negatif. Padahal, sejumlah bahan penting dan umum dikonsumsi sehari-hari seperti youghurt dan antibiotik, juga berbahan dasar bakteri. ”Saya menggunakan bakteri, bukan kuman,” ucapnya.
Terkait temuannya, Sapta mengaku belum mematenkannya. Ia juga mengaku belum berminat mengembangkannya secara massal di industri karena perlu penelitian dan pengembangan lebih lanjut. Meski demikian, Sapta kini tengah menyasar ceruk pasar untuk kalangan tertentu yang tak tergantung pada perkembangan tren fashion instan yang ia sebut dengan fast fashion.
Teknologi nano
Selain penelitian bioteknologi dalam pengembangan bahan tekstil, penelitian lain dilakukan Innamia Indriani. Mia, begitu ia kerap dipanggil, mengembangkan teknologi nano pada kain rami. Mia tampil bersama Sapta di tempat yang sama saat memberikan pemaparan tentang penerapan teknologi nano pada produk tekstil tersebut.
”Sebenarnya teknologi nano pada produk fashion ini bukanlah hal yang baru karena telah dikembangkan oleh perusahaan besar untuk pakaian astronaut, olah raga, pemadam kebakaran, dan kebutuhan khusus lainnya. Kali ini, rami dipilih agar teknologi ini dapat diaplikasikan pada lebih banyak kebutuhan. Jangan lupa, rami juga merupakan kain tradisional Indonesia,” kata dia.
Rekayasa teknologi nano pada kain tekstil itu dilakukan pada benang yang sudah dipintal, sebelum menjadi kain. Mia menggunakan bahan-bahan kimia ramah lingkungan seperti kitin dan silika pada prosesnya.
Salah satu keungggulan penerapan teknologi nano pada kain tradisional ini adalah water reppelent dan self cleaning. Kain yang telah diberikan perlakuan itu akan lebih mudah dibersihkan, dan tentu saja akan menghemat air maupun detergen di masa depan.
Tak jauh berbeda dengan Sapta, Mia lebih memilih untuk mengembangkan lagi penerapan teknologi itu alih-alih langsung menerapkannya pada industri massal. ”Yang menjadi kendala, di Indonesia itu minim fasilitas R&D (research and development). Semoga ke depan, fasilitasnya ada dan akan muncul peneliti-peneliti lain yang menyempurnakan penelitian ini,” kata Mia. (PIKIRAN RAKYAT)