News

Penelitian Upaya Menciptakan Sapi yang Tahan Perubahan Iklim

Perubahan iklim kian mengancam kelangsungan makhluk hidup di Bumi. Selain manusia, hewan ternak juga akan mengalami efek dari pemanasan suhu permukaan. Hal ini tentu dapat mengancam sumber pangan manusia.

Kini sekelompok peneliti University of Florida sedang bekerja untuk membiakkan “sapi masa depan”. Mereka mempelajari spesies sapi Brangus yang lebih toleran terhadap panas dan kelembapan. Sapi ini merupakan hasil dari sebuah persilangan antara sapi jenis Angus dan Brahman.

Brangus dikembangbiakkan untuk mendapatkan manfaat dari sifat terbaik sapi Angus dan Brahman. Genetika sapi Brangus mengandung kira-kira 3/8 Brahman dan 5/8 Angus.

Sapi ini terbukti memiliki keunggulan dalam bidang daya tahan akan penyakit, sifat tahan banting dan naluri betina Brahman, serta kualitas karkas kelas tinggi dari Angus. Kombinasi keunggulan ini telah menyebabkan berkembangnya jenis ini di seluruh Amerika Serikat, Meksiko, Australia, serta sebagian Amerika Selatan dan Afrika.

Tapi toleransi yang dimiliki Brangus terhadap panas menjadi faktor utama yang menarik minat para peneliti di Institute of Food and Agriculture Science, University of Florida (UF/IFAS).

Dengan menggunakan alat genomik, mereka telah menetapkan untuk mengembangkan hewan yang mampu berkembang biak dalam kondisi lingkungan yang panas namun masih menghasilkan daging sapi berkualitas.

Tim UF/IFAS itu menerima hibah federal selama tiga tahun senilai USD733 ribu (Rp 9,8 miliar) untuk mendanai penelitian ini.

“Penelitian ini menawarkan pendekatan baru yang kuat untuk mengatasi tantangan perubahan iklim dan mengembangkan ternak produktif yang cerdas-iklim untuk masa depan, dunia yang lebih panas,” ujar Raluca Mateescu, anggota tim peneliti UF/IFAS, dalam unggahan di situs resmi UF/IFAS.

Lebih dari separuh ternak di dunia hidup di lingkungan yang panas dan lembap, termasuk sekitar 40 persen sapi potong di Amerika Serikat.

“Tekanan panas adalah faktor utama yang membatasi produksi protein hewan dan berpengaruh negatif pada kesehatan dan kesejahteraan ternak di kawasan subtropis dan tropis, dan dampaknya diperkirakan bakal meningkat secara dramatis karena perubahan iklim,” jelas Mateescu dikutip dari Digital Trends (28/6).

“Pengembangan strategi efektif untuk meningkatkan kemampuan bergelut dengan tekanan panas sangat penting untuk meningkatkan produktivitas peternakan di AS dan mengamankan supli makanan global.”

Misi jangka panjang para peneliti UF/IFAS ini adalah untuk mengembangkan pengetahuan dan alat yang dibutuhkan industri peternakan guna meningkatkan toleransi terhadap tekanan panas. Pada saat yang sama, peneliti juga berharap dapat meningkatkan efisiensi dalam produksi, reproduksi, dan kualitas daging.

Upaya ini hanyalah salah satu dari banyak upaya yang direncanakan untuk menyambut perubahan iklim.

Tahun 2016 masuk sebagai pemegang jabatan tahun terpanas yang pernah tercatat. Bulan Mei lalu sendiri telah menjadi bulan Mei terpanas kedua yang pernah tercatat. Sama, bulan April 2017 juga menjadi bulan April terpanas kedua.

Suhu dunia mencapai rekor tertinggi untuk tahun ketiga berturut-turut pada 2016. Merayap mendekati plafon untuk pemanasan global.

Menurut US National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), suhu permukaan rata-rata di atas daratan dan lautan pada tahun 2016 adalah 0,94 derajat Celsius di atas rata-rata abad ke-20, yakni 13,9 derajat Celsius.

NASA melaporkan data yang hampir sama dengan UK Met Office dan University of East Anglia. Dua lembaga yang juga melacak suhu global untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut mengatakan 2016 adalah tahun terpanas yang tercatat.

Temperatur semakin meningkat akibat efek gas rumah kaca buatan manusia dan fenomena El Nino alami yang melepaskan panas dari Samudra Pasifik. Tahun lalu mengalahkan rekor sebelumnya yakni pada tahun 2015.

Peneliti memperkirakan dampak langsung dari pemanasan El Nino alami di Pasifik tropis meningkatkan anomali suhu global tahunan sebesar 2016 x 0,12 derajat Celsius. (Beritagar.id)

Join The Discussion