JAKARTA – Hasil kajian penelitian dari Tim Agama dan Politik, Pusat Penelitian Politik LIPI menyarankan beberapa masukan kebijakan peran pemerintah Indonesia untuk meredakan konflik Qatar dengan Arab Saudi dan beberapa negara lainnya.
Masukan pertama adalah pemerintah Indonesia hendaknya tidak mengambil sikap politik luar negeri yang terlalu hitam-putih, tidak berpihak terhadap salah satu kubu, serta mendorong upaya untuk merajut kembali kawat diplomatik yang terputus antara Qatar dengan negara sekitarnya.
Kedua, pemerintah Indonesia bisa menawarkan diri sebagai fasilitator perdamaian, bukan mediator. Secara rasional sebagai negara berkekuatan menengah, Indonesia belum memiliki posisi diplomatik penekan yang kuat terhadap negara-negara yang bersitegang, sehingga peran sebagai mediator kurang efektif.
“Tetapi sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar dunia, Indonesia berpotensi kuat sebagai fasilitator yang menyediakan tempat dialog perdamaian antara Qatar dan negara-negara yang bersitegang,” kata Wawan, panggilan akrab Nostalgiawan Wahyudhi, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI dalam kegiatan Media Briefing “Hasil Penelitian LIPI tentang Qatar dan Krisis Diplomatik Terkini di Timur Tengah” yang digelar di Media Center LIPI Jakarta, Kemarin (3/7).
Untuk masukan ketiga, negara super power seperti Amerika Serikat, Rusia dan Tiongkok atau organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki potensi kuat menjadi mediator yang efektif dalam ketegangan diplomatik tersebut. Diharapkan negara-negara tersebut lebih netral dalam menyikapi ketegangan politik di Timur Tengah.
M Hamdan Basyar, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI mengungkapkan, hasil kajian konflik Qatar menunjukkan pula bahwa akar permasalahan konflik ini dimulai ketika naiknya Syeikh Hamad bin Khalifa Al Thani sebagai Emir Qatar pada 1995 setelah mengkudeta kekuasaan ayahnya, Syeikh Khalifa bin Hamad Al Thani. Waktu itu, Arab Saudi melakukan intervensi politik untuk mempertahankan Syeikh Khalifa.
Sikap Arab Saudi didukung oleh mayoritas negara-negara Arab. “Meskipun tidak mendapatkan pengakuan diplomatik di awal kekuasaannya, Syeikh Hamad tetap melakukan manuver politik dan ekonomi sebagai Emir Qatar,” tuturnya. (Humas LIPI/MSR)