JAKARTA – Sebuah penelitian dari UNICEF (Organisasi PBB yang fokus pada persoalan anak) pada 2017 menyebutkan, 34 persen anak Indonesia di bawah usia 18 tahun tidak memiliki akta kelahiran. Hal ini disampaikan oleh Woro Srihastuti Sulistyaningrum, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Bappenas (Badan Pembangunan Nasional) pada acara FGD (Focused Group Discussion) Program Prioritas Nasional Pilot Project Model Inovasi Pelayanan Akta Kelahiran yang diselenggarakan Pusat Administrasi Wilayah, Pemerintahan Desa, dan Kependudukan BPP Kemendagri, Kamis (4/11) di Aula BPP.
Woro menyebutkan angka itu bahkan bisa terjadi pada anak usia hingga satu tahun. “Kebanyakan pencatatan kelahiran di usia sebelum 5 tahun. Di usia tersebut, angka penelitian UNICEF menyebutkan naik sekira 5 persen,” terangnya.
Menurutnya, angka tersebut kebanyakan disumbang oleh beberapa daerah terpencil di Indonesia bila dibandingkan dengan daerah perkotaan. “Anak di perkotaan angkanya lebih banyak 5 persen memiliki akta kelahiran ketimbang anak di perdesaan. Selain itu, penelitian ini juga menyebutkan, anak yang lahir dari keluarga menengah ke atas memiliki 2 kali lebih banyak dicatatkan dibandingkan anak yang lahir dari keluarga miskin,” jelasnya.
Faktor penyebab lainnya menurut Woro ialah faktor biaya yang terlalu mahal saat mengurus catatan kelahiran anak. “Ada 34 persen yang mengatakan karena faktor biaya, misalnya terlambat mengurus catatan sipil masih ada beberapa daerah yang memberlakukan sanksi dan sebagainya, atau faktor medan yang jauh sehingga membutuhkan transport koordinasi yang mahal,” imbuhnya.
Selain itu, 20 persen di antaranya karena faktor keterlambatan pemerintah setempat yang belum menerbitkan akta kelahiran yang diajukan warga. Woro menyebutkan, tentu ini menjadi permasalahan serius yang harus diperhatikan pemerintah daerah untuk bekerja cepat dan mudah, sehingga warga yang datang jauh-jauh dengan transport yang mahal tidak dikecewakan akibatnya lamanya birokrasi pelayanan publik di daerah. “Akibatnya, ada sekira 12 persen warga menganggap catatan akta kelahiran menjadi hal yang tidak penting,” tandasnya.
Untuk itu, Woro yang hadir sebagai narasumber sekaligus memberi masukan pada pilot project acara tersebut sangat mendukung BPP Kemendagri dalam upaya mencari model daerah yang pelayanan akta kelahirannya sudah bagus. Lalu setelah itu diterapkan pada daerah yang tertinggal. “Akta kelahiran ini bukan hanya penting untuk daftar sekolah, tetapi juga untuk pendataan penduduk. Dengan mengetahui jumlah penduduk atau anak secara real, kita dapat mengetahui peran dan strategi pemerintah untuk memajukan bangsa. Hanya saja masukan dari saya, BPP harus punya jadwal yang ketat dan komitmen menjalankan program ini,” terangnya. (IFR)