Jakarta – Riset pendahuluan Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) Universitas Indonesia menunjukkan kenaikan cukai rokok rata-rata 10,54 persen dan kenaikan harga jual eceran 12,26 persen selama ini di Indonesia tidak efektif mengontrol konsumsi rokok dan mendongkrak pendapatan negara.
“Kenaikan model begitu justru berdampak negatif terhadap kenaikan angka kemiskinan Indonesia,” kata Ketua Center for Health Economics and Policy Studies UI Budi Hidayat saat memaparkankan hasil riset pendahuluannya di Jakarta, Kamis pekan lalu.
Penyebabnya, kata dia, kenaikan cukai dan kenaikan harga rokok yang kecil itu tidak membuat orang berhenti merokok dan masih terjangkau harganya. Padahal, rokok merupakah hasil olahan produk tembakau yang bersifat nyandu. “ Perokok Indonesia memiliki sifat kecanduan miopik, bukan perokok rasional yang peduli akan konsekuensi negatif dari perilaku merokoknya,” kata Budi.
Karena itu, dalam riset ini Budi memberikan solusi bahwa harga rokok ideal harus meredam konsumsi, menambah fiskal negara, berdampak minim terhadap kemiskinan dan inflasi. Parameter yang dipakai dalam riset ini adalah elastisitas harga rokok terhadap partisipasi merokok dan kuantitas rokok yang dihisap, elastisitas cukai rokok terhadap produksi rokok, dan elastisitas cukai rokok terhadap harga jual eceran rokok.
Cukai, kata dia, adalah salah satu instrumen yang efektif menurunkan konsumsi rokok bila besarannya pas. Dari simulasi yang dia buat, bila rata-rata harga kenaikan rokok mencapai 150 persen dari harga rata-rata rokok per bungkus Rp 12.639 menjadi Rp 31.590, akan memiliki dua dampak positif sekaligus. Yaitu prevalensi perokok turun 0,84 persen, dari 21,63 persen (55,10 juta) menjadi 20,05 persen (51,12 juta). “Pendapatan cukai naik 150 persen dari Rp 132,6 triliun menjadi Rp 330 triliun,” kata Budi.
Harga rokok Rp 31.590, menurut dia, harga ideal di Indonesia untuk menurunkan konsumsi sekaligus menaikkan fiskal. Secara keseluruhan bilai diwujudkan, angka cukai ini lebih besar ketimbang pendapatan negara yang diperoleh dari program tax amnesty yang hanya Rp 135 triliun.
Masalahnya, Undang-Undang Cukai menyatakan “cukai produk hasil olahan tembakau maksimal 57 persen dari nilai harga jual eceran.” Praktiknya, dalam empat tahun terakhir, besaran cukai yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan rata-rata 43 persen dari harga jual eceran. “Tidak pernah menembus angka yang diamanatkan oleh undang-undang,” ujarnya.
Perlu dicatat jika opsi menaikan harga jual eceran yang diambil terlebih dahulu, maka nilai pendapatan yang diperoleh dari alternatif kebijakan ini sebagian besar dinikmati oleh industri, bukan oleh pemerintah. “Artinya alternatif kebijakan ini tidak mampu mendongkrak ruang fiskal pemerintah signifikan,“ ujarnya.
Karena itu, riset ini menyatakan solusi yang harus didorong adalah mengamandemen UU Cukai, terutama pasal yang mengatur batas maksimum cukai terhadap harga jual eceran. Bila undang-undang itu diamandemen akan mendapat keuntungan sekaligus yakni akan menyelamatkan warga negara melalui pengendalian konsumsi rokok dan menambah ruang fiskal bagi pemerintah.
“Pendapatan dari cukai ini kemudian bisa digunakan untuk mendanai program-program pembangunan,” kata Budi. “Tidak bisa Indonesia terus menerus menyediakan surga bagi perokok dan industri. Sementara pintu neraka terbuka lebar bagi non-perokok, generasi emas penerus bangsa, rumah tangga dan pemerintah akibat produk candu rokok.”
Riset ini merupakan upaya untuk menentukan harga rokok yang berdampak terhadap penurunan angka kemiskinan. (IFR/Tempo.co)