News

Penelitian: Longsor di Pulau Jawa, Jumlah Korban Tewas Lebih Banyak daripada Korban Luka

SLEMAN – Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) dari tahun 1980 sampai 2010, di pulau Jawa terjadi lebih dari 1.500 kejadian tanah longsor.

Dari ribuan kejadian itu yang harus menjadi perhatian adalah jumlah korban meninggal lebih banyak dari korban luka.

“Dari data longsor yang kita kumpulkan, selama kurun waktu tahun 1980 sampai 2010-an, lebih dari 1.500 kejadian longsor terjadi di Jawa,” ujar Danang Sri Hadmoko, dosen Fakultas Geografi UGM yang juga anggota Tim Mitigasi Bencana UGM, dalam jumpa pers, Selasa (11/04/2017).

Danang mengungkapkan, dari ribuan kali kejadian bencana tanah longsor di pulau Jawa, jumlah korban meninggal lebih besar dibandingkan korban luka. Hal ini yang menurut Danang harus menjadi perhatian lebih.

“Kenapa jumlah korban meninggal jauh lebih besar? Ini yang harus menjadi perhatian. Ini berkaitan erat dengan perilaku longsor itu sendiri,” bebernya.

Dijelaskanya, tipologi longsor umum yang terjadi di Pulau Jawa, yakni translational slide (pergerakan tanah pada bidang miring ke belakang), rotation (pergerakan tanah pada bidang bentuk cekung dan pergerakannya berputar), dan flow (gerakan tanah akibat campuran tanah gembur dengan sejumlah unsur di suatu lereng).

“Karakternya kecepatan tinggi dan dalam durasi waktu pendek, seperti yang terjadi di Ponorogo. Sehingga masyarakat tidak ada waktu yang cukup untuk menyelamatkan diri,” tandasnya.

Berdasarkan data yang dikumpulkanya, lanjutnya sebagian besar longsor di Pulau Jawa banyak terjadi di malam hari dan dini hari, sehingga warga dalam keadaan masih beristirahat ketika terjadi longsoran.

Kejadian longsor, lanjutnya, juga berasosiasi dengan aktivitas manusia dalam hal ini terkait penggunaan lahan untuk pertanian, baik pertanian basah maupun pertanian kering.

Danang mencontohkan, dalam bencana alam di Ponorogo, Jawa Timur, tebing yang longsor dengan kemiringan lebih 40 derajat sebelumnya digunakan untuk menanam jahe dan palawija. Tebing tersebut dibuat teras-teras.

Curah hujan yang turun di Ponorogo, Jawa Timur juga mirip dengan kejadian di Karanganyar pada tahun 2007 lalu. Sebelum kejadian longsor di Karanganyar, hujan komulatif dalam 24 jam itu mendekati 200 milimeter.

“Saat hujan deras, teras kecil tersebut menahan air dan memicu terjadi longsor,” jelasnya.

Lahan tebing berteras memang bagus untuk konservasi erosi. Namun demikian, tidak baik untuk konservasi longsor.

“Kejadian tanah longsor, itu banyak terjadi di pertanian lahan kering,” tuturnya. (IFR/Kompas.com)

Join The Discussion