JAKARTA – Wakil Rektor Bagian Akademik Universitas Prasetiya Mulya, Yudi Samyudia berpendapat insentif yang kadang menjadi tujuan sebuah penelitian tidak akan membantu menciptakan kultur penelitian.
Dirinya tidak setuju dengan model insentif seperti itu dan bisa berbahaya karena tidak menciptakan kultur (penelitian).
“Mungkin di awal (bisa) baik, tapi di saat nanti dananya seret, akibat yang terjadi adalah demo,” kata Yudi di sela-sela Seminar Nasional Pembaruan Pendidikan Tinggi Indonesia di Universitas Prasetiya Mulya, Kampus Cilandak, Jakarta belum lama ini.
Sistem insentif untuk penelitian yang tertuang dalam Permenristekdikti No. 20 tahun 2017, yang dilakukan pemerintah menurutnya sama dengan melakukan micromanage.
“Artinya tindakan manajerial berlebihan dari atasan, dalam hal ini pemerintah untuk mengontrol secara detail apa yang dilakukan bawahannya,” katanya.
Yudi sebenarnya berharap, perguruan tinggi swasta bisa lebih otonom daripada perguruan tinggi negeri, yang gaji dosennya dibayar oleh negara sehingga rektor tak dapat mengontrol ketat staf akademisnya.
“Beda dengan di swasta yang dibayar yayasan sehingga dosen masih bisa dikontrol institusi melalui rektor. Dengan kebijakan ini, yang memberikan money kepada akademisi-peneliti secala langsung, otonomi universitas swasta dihancurkan,” kata Yudi.
Baru-baru ini melalui permenristekdikti nomor 20 tahun 2017 menerapkan sistem pengukuran ini terkait dengan kewajiban menulis artikel ilmiah bagi lektor kepala dan guru besar.
Kebijakan ini menurut Yudi masih menyisakan pro-kontra di kalangan akademisi.
Banyak peneliti akademis menurutnya, karena motif mengejar insentif, cukup mengunggah secara online artikel ilmiahnya di laman-laman jurnal daring yang terindeks berbagai lembaga pengindeks, dengan berbagai strategi dan cara yang tidak semua bisa dipertanggungjawabkan, lalu ketika itu ditemukan pihak kemenristekdikti insentif langsung diberikan kepada yang bersangkutan.
“Saya jadi bertanya di sini, peran universitas lalu apa?, lalu otonominya di mana?”, kata Yudi.
Yudi menyebut sistem di Indonesi beda dengan sistem insentif di Inggris dan Amerika Serikat yang tetap menghormati otonomi universitas tempat para peneliti bekerja.
Di dua negara tersebut insentif diberikan kepada para peneliti hanya melalui evaluasi universitas yang mengawasi dan mengelola sistem penilaian secara penuh dengan evaluasi setiap tiga tahun.
Di sana setiap universitas mengumpulkan semua hasil input dan output research dari para peneliti lalu dilaporkan ke government karena riset itu tidak bisa dalam waktu satu tahun lalu menghasilkan kayak pabrik itu.
“Harus dalam waktu tiga tahun baru menghasilkan tangible research. Evaluasi oleh universitas diserahkan ke pemerintah lalu ditentukan bagaimana performance-nya di tiga tahun terakhir,” katanya.
Dari hasil evaluasi itu pemerintah menentukan ‘block grant’-nya seperti apa, yakni dana riset diberikan pemerintah ke universitas, lalu universitas mendistribusikan apakah berbentuk insentif, performance salary, atau infrastruktur riset.
“Jadi bukan hanya akademisinya yang dapat insentif, tapi infrastrukturnya berkembang juga. Budaya riset itu harus dibangun dalam proses yang panjang, bukan instan,” katanya. (IFR/Tribunnews.com)