Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 mewajibkan seorang profesor dalam tiga tahun menghasilkan satu karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi, atau tiga karya ilmiah di jurnal internasional, serta menulis satu buku. Jika tidak, maka tunjangan kehormatan akan dihentikan. Hal yang mirip, tetapi lebih lunak, juga diberlakukan kepada dosen dengan jabatan lektor kepala. Untuk bidang-bidang tertentu, karya ilmiah tersebut dapat diganti paten atau karya monumental. Peraturan baru ini memicu pelbagai diskusi. Tampaknya masalah penulisan buku jarang diributkan, yang sering diributkan adalah menulis di jurnal internasional bereputasi. Penyebabnya jelas, definisi jurnal internasional bereputasi sangat robust (kokoh) dan harus terindeks oleh basis data Scopus. Satu dekade lalu saya mengkritik penggunaan faktor dampak (impact factor) salah satu produk pengindeks ISI-Thomson (Counting Papers, Symmetry 2006). Beberapa tahun kemudian merebak isu jurnal predator, jurnal abal-abal yang dieksploitasi untuk keuntungan finansial bagi si pembuat (Kompas, 2/4/2013). Kemudahan pembuatan jurnal predator dipicu oleh pesatnya perkembangan internet dan munculnya sistem jurnal open access. Jumlah penerbit jurnal predator pun meledak, hampir mencapai 1.000 penerbit pada akhir 2016. Bayangkan berapa banyak jumlah jurnal predator jika setiap penerbit rata-rata menghasilkan 100 jurnal!
Indeks Scopus
Belakangan Dirjen Dikti menggunakan pengindeks Scopus sebagai acuan jurnal internasional bereputasi. Dengan bantuan Scopus, para pembuat kebijakan, panitia penilai kepangkatan, serta pemberi insentif publikasi sangat terfasilitasi. Penggunaan Scopus mungkin merupakan jalan tengah, mengingat ISI-Thomson sangat ketat sehingga hanya jurnal-jurnal papan atas yang terindeks. Hampir seluruh jurnal yang diindeks ISI-Thomson juga diindeks oleh Scopus. Meski demikian, Scopus memiliki beberapa kelemahan. Misalnya, Scopus adalah bagian dari Elsevier, penerbit ribuan jurnal ilmiah yang berpusat di Belanda. Scopus juga progresif memasukkan jurnal ke dalam basis data mereka sehingga cukup banyak jurnal kurang pantas dan predator ikut terindeks. Baru-baru ini kita dihebohkan dengan lenyapnya blog Jeffrey Beall yang memuat kriteria, daftar jurnal, dan penerbit predator. Belum ada penjelasan mengapa laman tersebut tiba-tiba hilang. Yang jelas jurnal abal-abal akan terus bertambah dan definisi jurnal predator akan tergerus. Pemerintah dan akademisi akan direpotkan dengan makalah abal-abal yang diklaim terbit di jurnal internasional. Tentu saja jalan keluar yang mudah adalah kembali ke Scopus atau mulai menggunakan basis data ISI-Thomson. Menarik untuk diamati bahwa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sangat antisipatif menghadapi kerunyaman ini. Jauh sebelum lenyapnya blog Jeffrey Beall, LIPI sudah mengusulkan jurnal internasional yang dapat dinilai dibagi dalam lima peringkat, yaitu jurnal dengan peringkat Q1 hingga Q4 versi ISI-Thomson, sementara di peringkat kelima adalah jurnal yang hanya terdaftar di Scopus dengan terbitan perdana sebelum 2003. Definisi LIPI dapat saja diadopsi untuk perguruan tinggi (PT). Namun, atmosfer PT yang egaliter mungkin sulit menerima ini. Dibutuhkan definisi baru yang bebas Scopus, ISI-Thomson, dan sekaligus jurnal predator.
Definisi yang lebih hakiki
Apa tujuan paling hakiki dari publikasi karya ilmiah? Jawaban sederhana tapi operasional adalah guna memberi tahu kepada kolega sebidang bahwa si penulis karya ilmiah telah mendapatkan satu temuan penting dari penelitiannya. Dalam banyak kasus, hanya kolega yang penelitiannya sama atau mirip saja yang dapat benar-benar paham. Di sini mulai terasa pentingnya eksistensi komunitas peneliti sebidang dalam memajukan ilmu mereka. Sebagai peneliti yang baik, seorang dosen tentu mengenal komunitas bidang ilmunya di tingkat nasional ataupun internasional. Sebab, dari waktu ke waktu, ia harus selalu meng-update diri dengan rutin membaca karya-karya ilmiah di bidangnya. Tentu saja masalah apakah ia dikenal atau terkenal di komunitas dapat dianggap pertanyaan sekunder karena sangat bergantung pada produk penelitiannya. Jadi, dosen tadi tahu persis siapa yang aktif atau bahkan leading (memimpin dan menjadi acuan) dalam bidangnya di tingkat nasional ataupun internasional. Boleh dikatakan, tidak ada yang tahu persis kontribusi seorang ilmuwan kecuali komunitasnya. Mereka yang leading di komunitas tentu saja merupakan pakar bidang tersebut. Dengan demikian, jurnal internasional bereputasi untuk satu bidang ilmu adalah jurnal tempat para pakar internasional bidang tersebut memublikasikan karya ilmiahnya. Analog untuk jurnal nasional bereputasi. Definisi ini perlu diperjelas ke tingkat yang lebih operasional. Hampir setiap bidang ilmu memiliki organisasi atau asosiasi bidang ilmu. Karena mereka yang aktif meneliti umumnya menjadi anggota asosiasi tersebut, asosiasi suatu bidang ilmu berperan penting dalam mengarahkan pengembangan bidang tersebut. Hampir semua asosiasi menerbitkan jurnal ilmiah yang menjadi rujukan anggotanya. Dengan demikian, jurnal-jurnal yang diterbitkan oleh asosiasi bidang ilmu yang sudah mapan dan menjadi rujukan peneliti dunia dapat dipakai sebagai jurnal internasional bereputasi primer karena di sanalah para pakar bidang tersebut berkiprah. Umumnya, negara-negara maju memiliki asosiasi seperti ini. American Chemical Society, American Geophysical Union, dan American Medical Association adalah contoh asosiasi dari Amerika. Dari belahan lain ada Japan Physical Society dan European Physical Society. Bagaimana dengan jurnal-jurnal dari penerbit komersial, seperti Elsevier, Springer, dan Wiley? Di sini kita membutuhkan definisi jurnal internasional bereputasi sekunder. Apakah jurnal-jurnal tersebut juga dirujuk atau menjadi tempat publikasi para pakar internasional di atas? Jika jawabnya ya, maka jurnal-jurnal komersial ini haruslah sering dirujuk oleh jurnal internasional bereputasi primer. Dengan definisi yang lebih operasional, jurnal-jurnal tersebut haruslah sering ditemukan pada daftar acuan (referensi) jurnal internasional bereputasi primer. Idealnya, dengan definisi di atas, kita dapat menciptakan sistem pengindeksan sendiri, bebas dari Scopus dan Thomson. Seorang kolega dari bidang filsafat bercerita bahwa mereka lebih memilih menulis buku ketimbang menulis di jurnal ilmiah. Ketika di kampus kami diluncurkan program dosen inti penelitian, terlihat bahwa peneliti di bidang sains, teknologi, dan kedokteran lebih memilih jurnal ilmiah sebagai tempat publikasi, sementara untuk bidang lain penulisan buku menjadi favorit. Jadi, mungkin lebih baik kewajiban menulis di jurnal dan buku dalam peraturan di atas diganti dengan jurnal atau buku. (IFR/Harian Kompas)