News

Hati-Hati, Penelitian: Anak Unduh Pornografi Justru di Rumah

Yogyakarta – Anggapan rumah adalah tempat yang aman dan nyaman untuk mengakses Internet ternyata tidak selalu tepat buat anak. Justru rumah menjadi pemicu awal terjadinya eksploitasi seksual online anak.

Hasil penelitian Yayasan Samin (Sekretariat Anak Merdeka Indonesia) menunjukkan, 47 persen anak dari 830 responden anak mengakses Internet di rumah. Sebanyak 23 persen di tempat umum, 15 persen di sekolah, selebihnya memilih mengakses di dua tempat, yaitu rumah dan sekolah, rumah dan warnet, serta sekolah dan warnet.

“Jadi rumah yang aman justru menjadi tempat yang bebas bagi anak untuk mengakses konten-konten porno Internet,” kata peneliti dari Samin yang berasal dari Jakarta, Bambang Pamungkas, saat mempresentasikan hasil penelitiannya tentang Situasi Eksploitasi Seks Online terhadap Anak di Hotel Sakanti, Yogyakarta, Sabtu, 24 Desember 2016.

Penelitian dilakukan dengan beberapa cara pada Maret-Desember 2016. Pertama, menyebar 850 kuisioner kepada anak-anak pelajar tingkat SMP dan SMA di sembilan kota, di antaranya Yogyakarta, Bantul, Sleman, Solo, Semarang, Bandung, Jakarta, dan Mataram yang dipilih karena menjadi tujuan wisatawan.

Dari 850 kuisioner yang divalidasi hanya 830 kuisioner yang bisa dianalisis. Samin juga menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan peserta 38 anak pelajar SD dari Solo, Semarang, Bantul, dan Sleman. Internet diakses karena tengah mengerjakan tugas sekolah, penggunaan media sosial, juga melakukan browsing atau melihat di YouTube.

“Dan 60 persen pernah melihat atau menerima foto dan video porno. Poin lain, 39 persen pernah mem-posting foto atau video porno,” kata Bambang.

Peneliti dari Samin yang berasal dari Surakarta, Nining Sholikhah, menambahkan, ada pengakuan anak kelas VII SMP yang diminta pacarnya mengirimkan fotonya dalam keadaan telanjang. Kemudian pacarnya membagikan fotonya tersebut kepada teman-temannya dengan mendapatkan imbalan uang.

“Sebagian besar anak-anak mengakses Internet karena mempunyai smartphone sendiri. Termasuk anak-anak SD,” kata Nining.

Yayasan Setara selama 2016 telah mendampingi 34 kasus kekerasan seksual. Menurut Direktur Program Setara Tsaniatus Solihah, sebagian besar kekerasan seksual karena pengaruh Internet, konter pornografi yang dikonsumsi anak-anak. Kemudian mereka meniru dan melakukannya.

“Media sosial menjadi penyebab utama. Bahkan satu anak SMP ada yang punya tujuh media sosial,” kata Tsaniatus.

Langkah pencegahan yang mesti dilakukan adalah melibatkan kepedulian orang tua terhadap konten dan media yang diakses anak-anak. Mengingat Internet adalah gerbang kekerasan seksual terhadap anak. Kemudian membuka komunikasi yang baik dengan anak. (IFR/Tempo.co)

Join The Discussion